I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perladangan masih merupakan cara hidup
penting bagi sebagian masyarakat miskin dan terpencil di pedesaan. Transformasi
perladangan sebagaimana yang terjadi di Sumatra, baik ke arah positif atau
negatif, terjadi juga di daerah lain. Kiranya, akan lebih bermakna bilamana
proses transisi pola perladangan secara gradual dan sistem agroforestry yang
terbentuk dalam proses evolusi tersebut dibiarkan berjalan sesuai dengan
harapan masyarakat lokal.
FAO (Food
Agriculture Organisation) melihat peladang ini sebagai suatu bencana
International yang perlu segera mendapat perhatian. Hal ini terbukti dengan
diterbitkannya buku L ‘agriculture nomade pada tahun 1956 oleh G. Tondeur yang
membicarakan masalah perladangan di Congo dan Afrika Barat, kemudian 1957
diterbitkan buku yang kedua, Hanunoo agriculture di daerah Philiphina oleh H.C.
Conklin. FAO memberikan perhatian besar terhadapa persoalan ini dan telah
mengambil inisiatif untuk menggalakkan studi tentang obyek ini melalui cabang
kehutanan dan Industri Kehutannannya.
Tujuan FAO mengatasi perladangan adalah
untuk mempropagandakan metode-metode pertanian-pertanian modern yang diharapkan
dapat memperbaiki kualitas produksi yang berguna dan hasil-hasil hewan yang
dapat diperoleh dari tanah-tanah yang tersedia. Keperluan utama didaerah tropik
basah adalah intensifikasi pertanian dan penambahan hasil persatuan luas.
Peralihan dari pertanian tradisional ke pertanian yang telah berkembang dengan
baik seringkali amat sukar untuk dicapai, dan penggunaan metode-metode yang
intensif di dalam keadaan ini seringkali berakhir dengan kegagalan.
Teknik-teknik perladangan sama saja
dimana-dimana yakni penebangan dan pembakaran vegetasi berkayu diikuti dengan
penanaman selama satu, dua, atau tiga tahun, kemudian tanah ditinggalkan dan
kembali menjadi hutan atau tutupan belukar selama periode yang panjang. Selain
kesamaan ini, perladangan mempunyai perbedaan-perbedaan dalam hal tipe dan
kehidupan daripada peladangnya sendiri. Kemudian para peladang sangat berbeda
dari satu tempat ketempat lain dimana perladangan tersebut tidak selalu
mengarah ke kehidupan nomadik.
Di Indonesia, banyak dijumpai
perladangan berpindah-pindah karena merupakan kebiasaan yang sudah menjadi adat,
sudah menjadi way of life dari
penduduk yang bersangkutan. Pandangan ini didasarkan pada pengamatan mereka,
bahwa perladangan berpindah-pindah itu dilakukan oleh orang berabad-abad
lamanya tanpa sesuatu perubahan yang berarti.
Tetapi menurut Soedarwono, Dosen
Fakultas Kehutanan UGM, penyebab adanya perladangan berpindah di Indonesia
bukan karena adatnya sudah begitu. Perladangan berpindah, sesuatu bentuk
pertanian yang resultante dari pengaruh alam lingkungan yang memaksa manusia
bertindak menyesuaikan diri.
1.2
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut :
1.
Apa
definisi dari perladangan?
2.
Apa
ciri-ciri dari perladangan?
3.
Seperti
apa masalah perladangan dan akibat yang ditimbulkan?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui definisi dari perladangan,
ciri-ciri perladangan dan masalah apa yang terjadi dari perladangan tersebut
dan apa akibat yang ditimbulkannya.
II.
PEMBAHASAN
2.1
Perladangan
Perladangan meliputi areal
yang sangat luas di atas bumi ini, terutama di daerah tropik basah, dimana di
daerah ini diketemukan di Negara-negara yang sedang berkembang. Perladangan
dapat didefinisikan sebagai suatu teknik pertanian dengan cara adab peralatan yang masih
primitive, tanpa adanya penanaman modal dan dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarganya. Pada umumnya dilakukan di atas
tanah yang cepat sekali kehilangan kesuburannya, sehingga memaksa peladang
melakukan pertanian berpindah-pindah untuk menyambung kebutuhan mereka.
‘Berladang’ merupakan
kegiatan bercocok tanam oleh sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, hal ini sangat erat kaitannya dengan tradisi budaya. ‘Perladangan
bergilir’ atau biasa dikenal dengan ‘perladangan berpindah’, adalah istilah
lain yang menggambarkan masa tanam dan masa bera yang berlangsung secara
bergiliran. ‘Sistem tebas dan bakar’, mengacu pada konsep ladang bergilir, yang
dalam proses penyiapan lahan diawali dengan cara ‘tebas dan bakar’. Namun
demikian, cara ini seringkali dihubungkan dengan pengrusakan atau perambahan
hutan karena dilakukan dalam skala luas oleh perkebunan besar atau petani pendatang.
Istilah seperti berladang,
perladangan bergilir, sistem tebas bakar, mengacu pada deskripsi aktivitas
perladangan. Secara teknis, istilah-istilah tersebut memiliki makna dan arti
yang nyaris serupa, namun memberi langgam dan pola yang berbeda. Perubahan praktek
perladangan baik secara bertahap maupun langsung dapat menjadi ‘solusi’ atau
‘masalah’, tergantung dari persepsi mana kita melihatnya. Seperti halnya dengan
negara lain, dewasa ini, masalah ‘perladangan’ di Indonesia dipandang dari
berbagai persepsi yang berbeda dan seringkali justru dianggap sebagai kegiatan
yang melanggar hokum.
Isu pengurangan emisi,
deforestasi, dan degradasi menambah pelik permasalahan ‘perladangan’ yang
sebenarnya sudah diterapkan oleh masyarakat tradisional secara turun-temurun.
Dalam kaitannya dengan emisi global, penggunaan api atau aktivitas lain di
areal hutan yang dianggap meng-emisi-kan gas rumah kaca menjadi isu hangat yang
dihubungkan dengan insentif ekonomi dalam mengurangi emisi. Namun demikian, di
dalam setiap pembahasan, aspirasi rakyat seringkali terabaikan. Perladangan
selalu dikaitkan dengan subsistensi dan keterbelakangan, bukan dianggap sebagai
suatu model pembangunan yang berkelanjutan. Pandangan seperti ini sejatinya dapat
mengabaikan dinamika perladangan yang sesungguhnya.
Dalam mengkaji masalah
perladangan, ada tiga pengetahuan dasar yang harus berjalan bersama dengan
harmonis, yaitu pengetahuan dan pemahaman masyarakat lokal, perspektif ilmiah,
serta kebijakan publik untuk mendukung pembangunan Dalam rangka membahas
permasalahan ‘berakhirnya kegiatan perladangan di Negara-negara di Asia
Tenggara’, pada Bulan Maret 2008 di Hanoi, Vietnam, sekelompok ilmuwan di
bidang sosial, ekonomi, dan ekologi yang berkiprah dalam isu penggunaan lahan di
kawasan hutan berkumpul bersama. Secara umum, maksud dan tujuan konferensi
tersebut adalah untuk mengkaji perubahan kegiatan perladangan di Asia Tenggara,
sehingga kesenjangan yang muncul dalam masyarakat peladang dapat dikenali,
diisi dan segera diatasi. Secara rinci, tujuan kajian perladangan di Asia
Tenggara ini adalah sebagai berikut:
1.
Menganalisis
perubahan pola perladangan dan tutupan lahan dalam beberapa tahun terakhir
menggunakan peta dan data penginderaan jarak jauh;
2.
Mengkaji
populasi peladang menggunakan data dan kajian demografi dan ekonomi dari
beberapa negara di Asia Tenggara;
3.
Menelaah
dampak perubahan pola perladangan terhadap lingkungan sosial, khususnya pada
aspek penghidupan masyarakat, ekonomi dan budaya, berbasis pada sejumlah studi
kasus dan kajian regional;
4.
Menganalisis
dampak perubahan pola perladangan terhadap lingkungan alam, bentang lahan,
keanekaragaman hayati, sumber daya air, dan iklim global, berbasis pada
sejumlah studi kasus dan kajian regional;
5.
Menganalisis
pentingnya kebijakan sebagai faktor pendorong perubahan, meliputi pengkajian
masalah ‘komodifikasi1’, perubahan skala produksi, kebijakan ekonomi,
kepemilikan lahan, infrastruktur, dan kebijakan konservasi pada skala nasional
maupun sub regional;
6.
Membangun
suatu forum komunikasi untuk mendapatkan perbandingan hasil penelitian
perladangan di negara-negara Asia Tenggara; dan
7.
Mengembangkan
ide dan konsep pengelolaan sistem perladangan sebagai bahan pertimbangan kepada
para pembuat kebijakan di beberapa negara di Asia Tenggara.
Pertanian ladang (swidden
agriculture), perladangan berpindah, perladangan bergilir, perladangan
gilir balik – merupakan sejumlah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan
suatu sistem penggunaan lahan yang melibatkan ‘fase tanam atau fase produksi’
dan ‘masa bera’, yaitu masa dimana vegetasi dibiarkan bersuksesi secara alami.
Ladang atau huma didefinisikan sebagai lahan berhutan yang dibersihkan untuk
produksi tanaman pangan. Adakalanya tanaman ini dikombinasikan dengan tanaman
semusim lainnya dan atau tanaman keras baik dalam satu kurun waktu atau dalam
beberapa periode. Tujuannya adalah untuk konsumsi pribadi maupun dijual. Pada
masa bera dalam sistem berhuma atau berladang, tanaman perintis berkayu
dibiarkan tumbuh secara alami hingga berupa hutan. Proses penumpukkan serasah
daun terjadi secara terus menerus. Tumbuhan lapisan bawah semakin jarang tumbuh.
Selain itu, pada masa bera terjadi penumpukan unsur hara pada biomasa tanaman
berkayu. Unsur hara ini dilepaskan kembali bilamana pembersihan lahan atau
‘tebas dan bakar’ dilakukan.
Karena itu, keberlanjutan proses
perubahan dari pola perladangan perlu lebih diperhatikan daripada hanya
berkutat dalam perdebatan mengenai bentuk dasar sistem perladangan. Paham
mengenai proses evolusi, baik alam maupun sosial ekonomi, seharusnya dipandang
sebagai suatu proses perubahan secara bertahap dalam merespon tekanan seleksi.
Dengan demikian, orang tidak hanya terjebak dalam pandangan bahwa perubahan
selalu mengarah pada bentuk kehidupan yang ‘lebih tinggi’ tingkatannya.
Perladangan berkembang
menjadi tiga model, yaitu:
1.
‘Agroforest’,
dimana tanaman berkayu memiliki nilai yang sama bahkan bisa lebih tinggi
daripada nilai tanaman pangan;
2.
Sistem
pastura atau padang penggembalaan, dimana lahan bera didomestikasi untuk areal
pakan ternak; atau
3.
Pertanian
menetap sebagai bentuk intensifikasi pertanian. Misalnya penggunaan tanaman
penutup tanah dari kelompok legum (kacang-kacangan) atau tanaman penyubur,
penggunaan pupuk kandang yang dihasilkan dari padang penggembalaan, atau
penggunaan pupuk kimia yang menggantikan fungsi masa bera sebagai unsur
tambahan untuk mengembalikan kesuburan tanah. Sejumlah penelitian mengenai
‘perladangan’ difokuskan hanya pada fase tanam dan kesuburan tanah. Fase tanam
diartikan sebagai fase penurunan kesuburan tanah, sebaliknya fase bera
merupakan fase pemulihan kesuburan tanah. Penurunan dan peningkatan kesuburan
tanah berlangsung seiring dengan produktivitas tanaman.
Penurunan dan peningkatan
produksi tanaman terjadi karena adanya interaksi fisik, kimia dan biologi
tanah; dimana gulma, hama dan penyakit tidak mudah diuraikan oleh konfigurasi
tanah setempat. Perbedaan jenis tanah, ruang tumbuh vegetasi dan kondisi iklim
membuat hubungan saling mempengaruhi antar faktor menjadi lebih kompleks. Namun
demikian, model penurunan dan pemulihan kesuburan tanah secara sederhana
sebagaimana dikemukakan Trenbath (1989) sangat bermanfaat sebagai langkah awal
untuk memahami dinamika tersebut.
2.1.1 Sejarah dan konteks internasional
Sistem berladang (swidden)
terdiri dari masa tanam dan masa bera (peralihan ke tumbuhan berkayu untuk
menjadi hutan sekunder). Dalam melihat hubungan antara masa tanam dan bera,
keterbatasan akses ke hutan menjadi faktor pendorong terjadinya intensifikasi dan
perpendekan masa bera. Dengan demikian, dinamika kegiatan perladangan ini
berkaitan langsung dengan sejarah munculnya kelembagaan hutan yang mengatur
akses ke hutan baik yang memiliki ataupun tidak memiliki sejarah penggunaan
lahan sebagai ladang (areal bercocok tanam). Pada kondisi kepadatan penduduk yang
rendah, lahan masih berlimpah dan potensi produksi ditentukan oleh jumlah
tenaga kerja dalam pembersihan lahan.
2.1.2 Kelembagaan perhutanan di Indonesia
‘Hutan’ berasal dari
bahasa Latin ‘forestis’, yang berarti ‘tidak tertutup’. Kata ini merujuk
pada pengertian tanah yang berada di luar kendali desa atau petani, yang
dikendalikan otoritas pemerintah pusat, dalam hal ini Raja. Pengertian ini
tidak secara spesifik merujuk pada pengertian komposisi tumbuhan berkayu,
sebagaimana digambarkan dalam istilah ‘silva’ (berasal dari bahasa
Latin) yang merujuk pada pengertian ‘vegetasi berkayu’ dan juga diterjemahkan sebagai
‘hutan’. Kayu dan hasil hutan non-kayu (misalnya, binatang buruan) secara
bergantian merupakan manfaat langsung dari hutan (forestis) yang harus
dipersembahkan kepada pemerintah sebagai upeti. Sejalan dengan semakin
pentingnya manfaat pohon-pohon besar sebagai bahan kapal yang dapat menunjukkan
kekuatan tentara dan panglima maritim, pengelolaan hutan lebih diarahkan untuk menghasilkan
kayu.
Untuk mengakomodir hak dan
harapan masyarakat atas lahan; analisis sejarah lahan, batas dan hak masyarakat
sangat diperlukan. Sebelum masa kemerdekaan, di wilayah yang memiliki konflik
batas hutan dan hak lokal, perdebatan masalah administrasi kepemerintahan kolonial
banyak terdengar. Penguasaan Belanda di Indonesia terutama ditujukan untuk
perdagangan, produksi dan ekspor tanaman pangan, serta stabilitas politik dalam
mengakui otoritas kolonial. Pembuatan
kapal besar merupakan alasan mengapa kolonial berupaya membangun otoritas penuh
terhadap hutan, terutama karena mereka tertarik pada hutan jati di pulau Jawa.
Pada tahun 1920, mulai terjadi perdebatan mengenai perladangan sebagai pesaing
pihak perkebunan Eropa dalam penguasaan lahan. Hal inilah yang dikemudian hari
menjadi dasar pikiran perlunya mengontrol aktivitas perladangan masyarakat.
2.2 Perladangan Bukan Penyebab Deforestasi
Definisi hutan yang secara
Internasional diakui menggabungkan elemen vegetasi,
penguasaan kelembagaan dan pemulihan pertumbuhan pohon. Definisi yang
digunakan dalam Statistik kehutanan FAO dan Protokol Kyoto memiliki dua
komponen, yang pertama memperhatikan aspek tutupan tajuk dan ketinggian pohon, dan
yang kedua mengacu pada kerangka lembaga kehutanan. Definisi tersebut adalah:
“areas normally forming part of the forest area which are
temporarily unstocked as a result of human intervention such as harvesting or natural
causes but which are expected to revert to forest”. Areal yang pada kondisi
normal tumbuh menjadi hutan, namun pada keadaan tertentu dapat berkurang
stoknya baik secara alami maupun akibat intervensi manusia seperti pemanenan, tetapi
diharapkan dapat pulih kembali menjadi hutan.
Makna dari definisi ‘pengurangan
stok pada kondisi tertentu atau sementara’ bermaksud menunjukkan bahwa
penebangan dan penanaman dapat dilakukan sebagai pengelolaan hutan yang wajar. Definisi
tersebut menyatakan bahwa perladangan dan rotasi masa bera bukan merupakan
deforestasi bilamana pepohonan dapat mencapai tinggi dan tutupan kanopi yang
telah ditentukan. Pembukaan lahan untuk pembangunan perkebunan kayu industri
dan kelapa sawit dapat dilakukan dalam definisi hutan tersebut, namun setelah
lahan dibuka, pertumbuhan vegetasi berkayu perlu dilakukan. Anggapan
perladangan sebagai penyebab deforestasi tidak sejalan dengan definisi hutan
yang telah diakui secara internasional.
Intensifikasi lahan
menyebabkan berkurangnya tutupan tajuk dan ketinggian tanaman yang tumbuh pada
masa bera. Akibatnya, areal ini tidak lagi dikategorikan sebagai hutan meskipun
lembaga kehutanan menegaskan areal tersebut masih merupakan kawasan hutan.
Pembukaan lahan dengan tebas bakar dipandang sebagai ancaman besar oleh
kepentingan ekonomi yang berkuasa. Argumentasi lingkungan dibawa ke ranah
diskusi, dan sebagai dalih, definisi yang telah disepakati tersebut diartikan
bahwa perkebunan kayu industry disebut sebagai hutan, namun areal lain dengan
berbagai tanaman keras tahunan tidak dianggap sebagai hutan. Definisi ‘hutan’
dibuat oleh ‘orang-orang kehutanan’, dan bukan oleh masyarakat. Pengakuan terhadap
petani kecil masih kurang, dan mereka lebih suka menyebut areal berkayu yang
dimilikinya sebagai ‘kebun’ untuk menghindari konflik dengan lembaga-lembaga
kehutanan. Dalam meja perdebatan internasional tentang REDD di Negara berkembang,
penting dicatat bahwa perladangan (dalam kerangka definisi hutan yang digunakan
dalam protokol Kyoto), bukan menjadi penyebab deforestasi. Meski demikian,
diakui bahwa aktivitas perladangan dapat menyebabkan penurunan ketersediaan
karbon, sebagaimana juga perkebunan monokultur atau hutan tanaman industri.
2.3 Intensifikasi masa bera
2.3.1 Dua cara intensifikasi
Semakin intensif
penggunaan lahan, seperti pada pertanian tanaman pangan menetap, dapat
meningkatkan produksi total per hektar jika dibandingkan dengan perladangan,
tetapi penerimaan petani (return to labour) dapat lebih kecil.
Intensifikasi menyebabkan degradasi lahan sebagaimana digambarkan oleh panah
terputus. Sistem agroforestri atau sistem berbasis pohon dapat menjadi pilihan
yang baik dimana produksi total per hektar tetap tinggi dengan pengelolaan
tanaman tahunan berintensitas rendah.
2.3.2 Unsur hara
Petani menerapkan sistem
perladangan dengan masa bera yang panjang untuk memproduksi tanaman pangan bagi
kebutuhan harian mereka (subsistem). Sistem ini secara ekologi dinilai stabil
dalam kondisi kepadatan penduduk rendah. Namun dewasa ini, pertambahan penduduk
berlangsung cepat, permintaan pasar terhadap hasil pertanian meningkat, dan
kebijakan pemerintah dalam pembangunan Intensifikasi masa bera lahan dan daerah
pemukiman telah mengubah aktivitas perladangan menjadi lebih intensif. Perubahan
ini menyebabkan ketidakseimbangan unsur hara karena hara mineral hilang selama
masa pertanaman dan tidak dapat dipulihkan hanya dengan periode bera yang
singkat.
Banyak petani masih
menerapkan sistem tebas bakar untuk membersihkan lahan meskipun pemerintah
telah mencanangkan program ‘zero burning’
yaitu pembersihan lahan tanpa menggunakan api atau pembakaran. Dari sebuah
studi yang dilakukan di Sumatera, Ketterings dkk (1999) melaporkan bahwa
keputusan petani untuk tetap melakukan proses pembakaran lahan disebabkan
karena hal berikut:
1.
Merupakan
cara yang paling efektif dan cepat dalam pembukaan lahan;
2.
Dapat
menekan pertumbuhan gulma dan vegetasi liar lainnya, terutama pada siklus awal
setelah penanaman tanaman pangan;
3.
Mengubah
biomasa menjadi pupuk alami yang bermanfaat bagi tanaman dan tanah;
4.
Menggemburkan
tanah, bibit tanaman menjadi cepat tumbuh; dan
5.
Merupakan
cara yang efektif untuk membunuh hama dan patogen
2.3.3 Alang-alang pertanda intensifikasi berlebihan
Imperata cylindrica (‘alang-alang‘ atau ‘cogon grass’) adalah spesies yang dapat
berkoloni dengan cepat di areal terbuka pada berbagai jenis tanah. Tumbuhan ini
memiliki akar rimpang (rhizoma) yang sangat kuat dan tahan terhadap api
meski telah melalui beberapa kali proses pembakaran. Proses pembakaran tidak
dapat membunuh titik tumbuh imperata di permukaan tanah. Jika titik tumbuh
mati, Imperata masih memiliki kemampuan beregenerasi dari tunas pada akar
rimpang di dalam tanah dan kembali muncul di permukaan tanah sebelum tanaman
lain tumbuh. Kemampuan beregenerasi yang sangat cepat ini membuat alang-alang
tahan terhadap pengolahan tanah, kecuali jika pengolahan tanah dilakukan
berulang, setelah dicangkul, dikeringkan, dan kembali dicangkul.
Imperata memiliki reputasi sebagai salah satu dari sepuluh gulma terburuk.
Meski menutupi tanah, namun membuat tanah menjadi tererosi. Tanaman penutup
tanah cepat tumbuh seperti Mucuna pruriens (legum) dapat menekan
pertumbuhan Imperata pada fase awal lahan, namun tidak memberikan
penaungan yang memadai untuk mengurangi kekuatan akar Imperata. Imperata
dapat dikendalikan secara mekanis maupun kimiawi. Petani menggunakan
herbisida, teknik olah tanah atau ‘penggilasan’, tergantung pada sumber daya
dan dana yang dimiliki. Tanaman pangan semusim ditanam dalam beberapa tahun
pertama setelah pembukaan lahan, disertai dengan penanaman tanaman tahunan
sebagai sumber pendapatan dalam sistem agroforest dan membantu menekan
pertumbuhan Imperata. Namun demikian, adanya celah antar tanaman pada
sistem tumpang sari beresiko terhadap pertumbuhan Imperata dan
mempermudah terjadinya kebakaran. Tumbuhnya Imperata pada suatu lahan
berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon lain di sekitarnya. Meskipun mekanisme pengaruhnya
masih menjadi bahan perdebatan dalam berbagai literatur, namun ada 4 kondisi
yang telah diketahui, yaitu:
1.
Cahaya
yang ditangkap oleh rumput dengan tinggi 1 – 2 m berpengaruh terhadap pertumbuhan
anakan pohon,
2.
Alang-alang
memerlukan air dan hara (N, P, dan K) sehingga ketersediaan air dan hara untuk
pohon menjadi berkurang. Konsentrasi N pada daun alang-alang rendah sehingga
kompetisinya tidak terlalu kuat. Dekomposisi lanjutan dari daun dan akar alang-alang
yang melibatkan mikroba sehingga tidak terjadi mobilisasi N dan akibatnya
kesuburan tanah menjadi berkurang.
3.
Pada
musim kemarau, lahan alang-alang memiliki resiko kebakaran tinggi karena
biomasa kering di permukaan tanah yang merupakan bahan mudah terbakar saling
bersambungan sehingga api mudah menyebar.
Alang-alang tahan terhadap api dan tumbuh dengan cepat setelah
kebakaran sehingga dapat memanfaatkan semua unsur hara sebelum tanaman lain
men-dapatkannya. Ketahanan pohon dan tanaman tahunan lainnya terhadap api
tergantung dari ukuran pohon, ketinggian dari permukaan tanah dan ketebalan
kulit kayu yang melindungi tunas samping. Selain itu, ketahanan pohon terhadap
api juga ditentukan oleh kualitas api itu sendiri, seperti tinggi kobaran api,
temperatur yang dicapai dan sebaran api yang mencapai tajuk pohon.
4.
Akar dan
rimpang alang-alang melepaskan senyawa organic yang menghambat proses
perkecambahan dan pertumbuhan awal berbagai jenis tanaman atau dikenal dengan
istilah ‘alelopati’. Paska fase pertumbuhan tanaman lain, senyawa ini
memperparah immobilisasi N pada tanah yang ditumbuhi alangalang. Pengkayaan
tanah dengan Nitrogen dapat membantu mengatasi efek alelopati. Kebakaran,
merupakan konsekuensi yang harus dibayar mahal ketika pada sistem agroforest
ditumbuhi alang-alang. Satu kali kebakaran mampu menghapuskan investasi selama
bertahun-tahun dari penanaman pohon. Oleh karena itu, pengendalian alang-alang merupakan
syarat penting sebelum menanam pohon. Ada 4 jenis upaya pengendalian
alang-alang yang dapat dilakukan antara lain:
1. Cara Mekanis. Pengolahan
tanah (pencangkulan) dapat mengangkat akar alang-alang ke atas tanah dan
kemudian akar tersebut mengalami pengeringan oleh sinar matahari. Supaya lebih efektif,
teknik olah tanah ini perlu dilakukan beberapa kali. Akar alang-alang masih
mampu bertahan dengan teknik olah tanah yang dilakukan secara manual dengan
cangkul maupun menggunakan tenaga kerbau, karena hanya mampu mencapai kedalaman
tertentu. Sementara itu, teknik olah tanah dengan mesin mampu mencapai
kedalaman yang dikehendaki.
2. Herbisida. Jenis
herbisida yang paling populer dan murah adalah glifosat, yang tersedia dalam
beragam merek dagang.
3.
Penggilasan.
Penggilasan biomasa tanah
lambat laun memberikan efek yang baik untuk menekan pertumbuhan meskipun mekanismenya
belum sepenuhnya dipahami. Teknik penggilasan ini dapat dipilih sesuai dengan
kondisi di sekitar areal yang akan ditanami tanaman tahunan.
4.
Naungan. Naungan dapat mengurangi laju pertumbuhan alang-alang, apalagi
jika dikombinasikan dengan pembuangan biomasa, maka secara bertahap dapat
mengurangi kemampuan akar rimpang beregenerasi. Biomasa alang-alang menurun
drastis bila intensitas cahaya yang mencapai lantai lahan hanya 20%. Namun,
bila cahaya yang masuk ke lahan lebih dari 20%, alang-alang masih dapat tumbuh.
2.4 ‘Masa bera’
sebagai sumber pendapatan
Pertanian subsisten sudah
semakin bergeser, sejalan dengan semakin tingginya kebutuhan para petani dan
masyarakat di sekitar hutan untuk
melakukan transaksi ekonomi dengan dunia luar. Namun demikian, proses transisi
menjadi sistem pasar yang betul-betul terintegrasi, berjalan secara bertahap,
dimana mereka mulai menanam tanaman tahunan bernilai ekonomi seperti karet dan rotan
dalam sistem pertanian tradisional. Awalnya, para peladang menanam padi hanya
untuk kebutuhan konsumsi harian, bukan untuk dijual. Penanaman tanaman pangan
ini lebih menunjukkan status sosial masyarakat dibandingkan dengan manfaat
ekonomi yang diperoleh. Elmhirst (1997) menjelaskan kondisi di Desa Way Kanan,
Lampung Utara yang berinteraksi dengan sebuah desa transmigrasi di dekatnya,
dimana masyarakat dapat membeli padi dari transmigran tanpa diperhatikan oleh
tetangganya. Di Kasepuhan, Jawa Barat, ladang atau huma memiliki peranan penting
dalam menentukan status sosial masyarakat, dimana masyarakat yang tidak
memiliki ladang dapat digolongkan sebagai masyarakat berstatus rendah
2.4.1 Pengelolaan lahan di masa bera
Bila sistem perladangan
berubah menjadi sistem yang lebih intensif maka keseimbangan unsur hara dalam
tanah cenderung menjadi negatif (Juo dan Manu 1996). Hal tersebut terjadi
karena pembakaran, pemanenan, pencucian dan erosi. Oleh karena itu diperlukan
sistem bera berikutnya yang dikelola secara lebih baik. Beberapa pilihan
pengelolaan lahan bera dijelaskan dalam Cairns (2007) dan di beberapa literatur
lain, termasuk penggunaan.
2.5
Ciri-ciri Perladangan
Ciri-ciri ladang berpindah adalah
sebagai berikut :
1.
Ketergantungan
petani yang tinggi terhadap lahan hutan
2.
Lahan
ladang (hutan) dibuka dengan cara dibabat dan dibakar
3.
Peralatan
yang digunakan masih sederhana, biasanya parang dan tugal
4.
Tidak
ada pemeliharaan terhadap tanaman
5.
Lahan
sempit, luasnya rata-rata tidak lebih dari 0,5 hektar
6.
Lahan
hanya dipakai untuk waktu yang singkat dan kemudian dibiarkan untuk jangka
waktu yang lama
Sistem
pertanian primitive subsistence farming
hanya terdapat pada daerah-daerah dengan penduduk yang masih jarang sekali.
Oleh karena mayoritas pembukaan lading dilakukan dengan cara membakar, selain
menimbulkan kebakaran hutan dan polusi asap, kegiatan ini akan merusak lapisan
humus. Walaupun demikian, keutnungannya terdapat penambahan unsur potash dalam
tanah. Tanah hutan biasanya dibuka 3 atau 2 minggu sebelum musim penghujan.
Sistem ladang berpindah ini dapat mengakibatkan
dampak negative, diantaranya :
1.
Mengurangi
luas hutan
2.
Kerusakan
hutan
3.
Tanah
menjadi tandus / lahan kritis
4.
Tanah
mudah tererosi
5.
Kebakaran
hutan
6.
Pencemaran
udara
7.
Banjir
2.6
Masalah Perladangan dan Akibat yang
Ditimbulkan
Pedidikan
masyarakat hutan yang tergolong rendah dan sulitnya mencari mata pencaharian
menyebabkan mereka memilih membuka ladang yang biayanya cukup murah
dibandingkan dengan menanam atau menebang pohon karena pohon membutuhkan jangka
tumbuh yang cukup panjang dan penjualan kayu terbilang sulit karena harus
mempunyai izin penebangan. Perladangan liar
ini dapat merusak hutan karena jangka waktu rotasi perladangan yang dari
waktu ke waktu semakin kecil menyebabkan tidak optimalnya regenerasi hutan.
Para
ahli menyarankan bahwa regenerasi hutan sebaiknya dilakukan dalam periode 20
tahun. Selama peride tersebut, kondisi tanah secara alamiah dapat diperbaiki.
Dengan kondisi sudah diregenerasi, tanah tersebut dapat dimanfaatkan lagi
setelah masa regenerasi. Akan tetapi, sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk
yang semakin cepat, kebutuhan akan lahan garapan pun semakin mendesak. Tidak
heran jika saat ini, periode regenerasi hutan dipersingkat menjadi 6 hingga 8
tahun bahkan kurang dari itu. Selain konsekuensi penurunan produktivitas tanah,
perladangan liar juga mengakibatkan menurunnya luas hutan atau degradasi lahan
hutan. Definisi degradasi agak bersifat subjektif memiliki arti yang berbeda tergantung pada suatu kelompok
masyarakat.
Rimbawan
memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian mengatakan
bahwa hutan yang terdegradasi adalah
hutan yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu point/titik dimana penebangan kayu maupun non
kayu pada periode yang akan datang
menjadi tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan
hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak
terpenuhi. Berkurangnya areal hutan diikuti pula dengan semakin gersangnya
tanah, meluasnya populasi alang-alang, serta jenis rumput-rumputan lainnya yang
sangat mudah terbakar di musim kemarau.
Masalah
lainnya adalah masih banyak petani masih menerapkan sistem tebas bakar untuk
membersihkan lahan di hutan meskipun pemerintah telah mencanangkan program ‘zero burning’ yaitu pembersihan lahan
tanpa menggunakan api atau pembakaran. Dari sebuah studi yang dilakukan di
Sumatera, dilaporkan bahwa keputusan petani untuk tetap melakukan proses
pembakaran lahan disebabkan karena hal berikut:
1. Merupakan cara yang paling efektif dan cepat dalam pembukaan lahan.
2. Dapat menekan pertumbuhan gulma dan vegetasi liar lainnya, terutama pada siklus awal setelah penanaman tanaman pangan.
3. Mengubah biomasa menjadi pupuk alami yang bermanfaat bagi tanaman dan tanah.
4. Menggemburkan tanah, bibit tanaman menjadi cepat tumbuh.
5. Merupakan cara yang efektif untuk membunuh hama dan pathogen.
Akibat sistem tebas bakar inilah maka terjadi ketidakseimbangan unsur hara karena hara mineral hilang selama masa pertanaman dan tidak dapat dipulihkan hanya dalam waktu yang singkat. Permasalahan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) di negara berkembang juga semakin hangat diperdebatkan sejak masyarakat global paham akan emisi dan perubahan iklim global. Tidak dapat dipungkiri bahwa 20% emisi gas rumah kaca global terjadi karena pola penggunaan lahan dan perubahan yang terjadi di beberapa wilayah tropis. Para peladang dianggap sebagai penyebab degradasi hutan. Muncul juga kehawatiran penerapan REDD dapat membatasi ruang gerak masyarakat terhadap sumber daya yang mereka miliki.
Keterkaitan deforestasi, pembangunan dan kemiskinan sangat kompleks dan bersifat spesifik. Namun demikian, penggunaan api sebagai metoda pembersihan lahan disebut-sebut sebagai penyebab terjadinya deforestasi. Meski demikian, pada kenyataannya perubahan penggunaan lahan tanpa menggunakan api dapat menyebabkan hilangnya persediaan karbon dalam jumlah besar. Larangan penggunaan api dapat berdampak serius pada kehidupan masyarakat. Selain itu perladangan berpindah dan kebakaran memiliki korelasi yang positif, karena musim berladang umumnya pada musim kemarau. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada setiap musim kemarau terjadi kebakaran dimana-mana karena dipicuh oleh aktivitas perladangan.
1. Dampak
Perladangan Berpindah
Realitas memang menunjukan bahwa
perladangan berpindah memiliki korelasi yang kuat dengan kerusakan ekosistem
hutan, terutama pada pulau-pulau kecil dampaknya sangat signifikan. Beberapa
dampak yang dapat dikemukakan adalah :
1.
Terjadi banjir pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa
hampir 100 % sungai yang terdapat pada pulau-pulau kecil mengalami penurunan
debit air yang drastis, bahkan pada musim panas banyak sungai mengalami
kekeringan. Selain itu pada musim hujan, selalu terjadi banjir dan erosi
yang mampu mengikis dan mengangkut ribuan ton tanah permukaan ke sungai dan
laut sehingga terjadi pendangkalan sungai dan gangguan ekosistem laut.
2.
Terjadi penurunan drastis kesuburan
tanah. Kondisi di lapangan menunjukan bahwa bekas-bekas areal berladang
telah menjadi semak belukar ataupun padang alang-alang. Pada pulau-pulau kecil
dengan kondisi ekosistem yang miskin vegetasi atau lahannya terbuka maka ketika
musim hujan, banyak lapisan tanah permukaan yang terkikis dan hanyut,
sehingga kondisi kesuburan tanah menjadi menurun. Hasil penelitian menunjukan
bahwa kondisi kesuburan tanah secara umum pada daerah-daerah terbuka berbeda 40
– 60 % terhadap lahan hutan primer.
3.
Terjadi perubahan iklim dan yang
paling drastis adalah kondisi iklim mikro dimana suhu meningkat rata-rata
sebesar 1 – 3 oC dengan penurunan kelembaban relatif sebesar 5 – 10
%. Selain itu dari aspek iklim makro telah terjadi perubahan pola
musim, dimana musim hujan dan musim panas sudah tidak konstan sesuai kalender
musimnya.
4.
Terjadi gangguan habitat satwa,
dimana lebih disebabkan oleh perubahan kondisi vegetasi sebagai akibat
perladangan berpindah dan hal ini berpengaruh signifikan terhadap habitat
satwa. Akibatnya ekosistem hutan yang sebelumnya merupakan tempat makan, minum,
bermain dan tidur menjadi terganggu, sehingga satwa cendrung bermigrasi ke
tempat lain, ataupun memilih tetap bertahan dengan kondisi cover yang
terganggu.
5.
Terjadi penurunan biodiversitas,
yang secara umum disebabkan perladangan yang dilakukan dengan cara tebang habis
dan bakar sehingga banyak spesies langka atau endemik juga ikut musnah.
Sampai sejauh ini walaupun belum diteliti dampak perladangan terhadap kepunahan
spesies, namun dari pendekatan Indeks Shannon-Wienner menunjukkan bahwa
terjadi penurunan nilai keragaman spesies pohon sebesar 10 % dibandingkan
hutan primer yang berada disekitar lokasi penebangan. Hal ini disebabkan
beberapa spesies pohon toleran (kurang butuh cahaya) cenderung menghilang dari
habitatnya sebagai akibat meningkatnya intensitas cahaya.
6.
Terjadi peningkatan luas lahan Imperata
cylindrica karena pembukaan hutan untuk aktivitas perladangan. Perladangan
berpindah biasanya dengan menggunakan masa istirahat lahan (masa bera) 10
– 20 tahun. Artinya selama periode waktu 10 – 20 tahun, lahan tersebut akan
ditinggalkan dan dibiarkan membentuk hutan sekunder (Aong). Aong biasa
didominasi oleh vegetasi berupa Macaranga spp dan terdapat juga beberapa
spesies asli dari hutan yang dibuka pada awalnya. Setelah masa bera tersebut
maka lahan yang sama akan dibuka kembali untuk berladang pada periode ke
II. Setelah periode ke II, hutan sekunder (Aong) mulai sulit untuk
terbentuk karena lahan mulai didominasi oleh alang-alang (Imperata
cylindrica) sehingga secara umum jika sistem pengulangan ini
dilakukan sampai pada periode ke III biasanya lahan sudah didominasi
alang-alang.
2. Langkah-langkah
penanggulangan
Mengatasi berbagai dampak yang
dikemukakan, maka berikut direkomendasikan beberapa langkah pengendalian, yaitu
:
1.
Harus ada kemauan pemerintah
baik pusat maupun daerah untuk menangani permasalahan laju perladangan
berpindah terlebih dahulu, agar dapat disusun perencanaan yang tepat dan
terarah dalam rangka penanggulangannya. Karena apapun juga pemerintah telah
diperhadapkan dengan realitas kondisi bahwa perladangan berpindah memiliki
korelasi kuat dengan kerusakan ekosistem.
2.
Diperlukan regulasi berupa
peraturan daerah yang dapat mengatur tentang pelaksanaan dan pengendalian
laju peningkatan praktek perladangan. Hal ini sangat penting agar para peladang
dapat memahami secara jelas tentang batasan-batasan dan prosedur praktek
perladangan yang menjamin kelestarian ekosistem. Selanjutnya sebagai
konsekuensi dari adanya peraturan daerah berarti akan diatur pula sanksi-sanksi
terhadap pelanggaran-pelanggaran yang mungkin terjadi sehingga praktek
perladangan dapat dilakukan secara terkontrol,
3.
Pengembangan model agroforestry.
Menurut teori bahwa perladangan berpindah hanya dapat diatasi dengan 3
model utama, yaitu pengalihan profesi peladang, pengembangan model
pertanian menetap dan model agroforestry. Berdasarkan ke 3 model
ini, bila dikaji lebih jauh ternyata bahwa model pengalihan profesi tidak
berhasil karena persoalan budaya. Aktivitas berladang telah dianggap
sebagai budaya yang diwariskan nenek moyang mereka. Selain itu pertanian
menetap juga sulit untuk diterapkan karena membutuhkan modal (input) yang besar
bagi penerapannya. Sementara itu model agroforestry nampaknya mudah dan
sederhana untuk diaplikasi karena membutuhkan hanya sedikit modal, tetapi hutan
yang akan terbentuk nanti selama masa bera adalah hutan yang nanti
memiliki nilai ekonomi dan konservasi yang tinggi.
4.
Diperlukan peningkatan kapasitas
sumberdaya manusia untuk mendukung aplikasi ke 3 model utama pengendalian perladangan
diatas. Untuk itu pendidikan, training dan latihan bagi peladang untuk
peningkatan pengetahuan dan ketrampilan sangat dibutuhkan bagi kerberhasilan
pelaksanaan dari model yang ditawarkan nanti.
Perladangan berpindah dalam realitas
telah menyebabkan kerusakan ekosistem hutan secara serius. Hal ini
berdasarkan kondisi di lapangan bahwa wilayah-wilayah hutan yang
sebelumnya berada disekitar desa, saat ini letaknya sudah mencapai radius
lebih 7 Km. Bahkan pada pulau-pulau kecil tertentu, sudah tidak
dijumpai hutan. Kebanyakan hutan hanya dijumpai dalam bentuk spot-spot hutan
sekunder. Karena itu pemerintah pusat maupun daerah sudah seharusnya mulai
mengambil langkah-langkah pengendalian, agar generasi ini tidak mewarisi lahan
yang tandus bagi generasi akan datang.
Berkurangnya areal hutan
diikuti pula dengan semakin gersangnya tanah, meluasnya populasi alang-alang,
serta jenis rumput-rumputan lainnya yang sangat mudah terbakar di musim
kemarau. Perladangan berpindah tanpa rotasi yang cukup dan melalui cara
pembakaran lahan hutan akan mengakibatkan kerusakan keanekaragaman hayati serta
sumberdaya tanah dan air (erosi, kesuburan tanah menurun, meningkatnya air
permukaan, rusaknya habitat satwa, rusaknya habitat satwa, berubahnya ekosistem
kawasan, pemadatan tanah), bencana lingkungan (banjir, longsor, kekeringan
sumber air), perubahan iklim lokal (meningkatnya suhu, berkurangnya hujan,
menurunnya kelembaban) serta pencemaran lingkungan.
Bekas perladangan
liar/areal terbuka ditandai dengan jenis-jenis vegetasi yang ada seperti
alang-alang, sirih-sirihan, jenis Euphatorium dan Tremor. Salah satu salah bisa
dilakukan untuk membuat lahan berpindah ini menjadi bisa layak kembali sebagai
hutan adalah dengan merehabilitasi lahan tersebut dengan jenis pohon-pohon
pionir setempat yang potensial untuk ditanam.
Terdapat beberapa
pendekatan untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem
(recovery) :
a.
Pendekatan
pertama adalah restorasi (restoration)
yang didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis
tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan tersebutsebelumnya.
b.
Pendekatan
kedua melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan dengan jenis
asli dan jenis eksotik. Dalam hal ini tidak ada upaya untuk menrecreate
ekosistem asli. Tujuannya hanyamengembalikan hutan pada kondisi stabil dan
produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran
termasuk jenis asli.
c.
Alternatif
terakhir adalah reklamasi yang berarti penggunaan jenis-jenis eksotik untuk
menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan.
Dalam hal ini tidak
ada sama sekali upaya perbaikan biodeversitas asli dari suatu areal yang
terdegradasi. Akan tetapi, masih ada kegiatan ladang berpindah yang mendukung
keseimbangan ekosistem. Salah satu contoh kegiatan sistem perladangan berpindah
yang tidak merusak hutan adalah yang dilakukan oleh orang dayak di kalimantan
memberikan sebuah contoh terbaik di dunia tentang hubungan antara kebudayaan
dengan alam, yang tampaknya melestarikan kedua belah pihak. Seperti pada sistem
mereka dalam bercocok tanam dengan sistem rotasi panjang.
III.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Alasan
dilakukannya perladangan berpindah adalah demi memenuhi kebutuhan masyarakat
sekitar hutan yang pendidikannya tergolong sehingga menyebabkan mereka memilih
membuka ladang yang biayanya cukup murah. Akan tetapi, perladangan berpindah
ini menyebabkan masalah yang merugikan hutan, manusia dan juga alam antara lain
penurunan produktivitas tanah, perladangan liar juga mengakibatkan menurunnya
luas hutan atau degradasi lahan hutan dan meningkatkan emisi global jika
pembukaan lahan dilakukan dengan pembakaran. Cara yang dapat ditempuh jika
sudah terjadi perladangan berpindah adalah dengan meregenerasi hutan dengan
menanaminya tanaman pioneer sehingga hutan itu kembali produktif.
3.2
Saran
Masalah perladangan berpindah perlu diperhatikan oleh pemerintah. Hutan yang terdegradasi akibat dijadikan areal ladang memang merupakan masalah serius, tetapi itu semua tak akan terjadi jika pemerintah menyediakan lahan khusus menanam tumbuhan produktif. Pemerintah juga seharusnya memberikan pengetahuan kepada setiap masyarakat disekitar hutan tentang hak pemanfaatan hutan dan pertanian sehingga terlihat batas yang jelas dan tidak membingungkan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arkannuddin. 2008. Sistem Perladangan Orang Dayak. http://prof-arkan.blogspot.com/2012/04/sistem–perladangan–dan–kearifan_25.html.
Diakses pada hari sabtu, 4 mei 2013
Kada, zefirinus. 2008. Kelestarian Hutan Indonesia. http://www.kabarindonesia.com/ beritaprint.php?id=20081003033818. Diakses
pada hari sabtu, 4 mei 2013.
Sultan, Sudirman. 2012. Prosedur Perlindungan Hutan.
http://pengamananhutan.blogspot.com/2012/05/kenali-prosedur-erlindungan-dan.htm.
Diakses pada hari sabtu, 4 mei 2013.
Utomo, Budi. 2008. Rehabilitasi Hutan. USU
e-Resipotory.Medan.
PERTANAHAN :P
BalasHapusPERTANAHAN :P
BalasHapus