I. PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang
unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaatan sumberdaya alam tersebut. Daerah aliran sungai di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya
yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensef sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi daerah aliran sungai semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi,
banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian besarnya.
Sebagai suatu kesatuan tata air, daerah aliran sungai dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air
yang di banyak tempat rawan terhadap ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian daerah aliran sungai ditentukan oleh pola perilaku,
keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan
(institutional arrangement).
Tidak optimalnya kondisi DAS
antara lain disebabkan tidak adanya ketidakterpaduan antar sector dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS
tersebut. Dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang
kadang kala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan dan pembangunan dimana daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.
Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi sangat komplek pada DAS yang
lintas kabupaten/kota dan lintas propinsi. Oleh karenaitu, dalam rangka memperbaiki kinerja pembangunan dalam DAS maka perlu dilakukan pengelolaan
DAS secara terpadu.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum
ini adalah untuk mengukur
luas
penampang
dan
kecepatan rata-rata aliran
air disungai
Poboya, Kecamatan
Palu
Timur, Palu .
Kegunaan dari praktikum
ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui nilai kuantitas debit air dari hasil pengukuran luas penampang dan kecepatan rata-rata aliran air sungai.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Pengertian DAS
Daerah aliran sungai (DAS) dapat
diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung,
menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya ke sungai yang
akhirnya bermuara ke danau/laut (Manan, 1979 dalam Rahmat,2013)
DAS merupakan ekosistem yang terdiri
dari unsur utama vegetasi, tanah, air dan manusia dengan segala upaya yang
dilakukan di dalamnya (Soeryono, 1979 dalam
Rahmat, 2013).
Berdasarkan sudut
pandang biofisik, yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu
wilayah daratan tertentu yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air
yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di
darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah
perairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan (UU air Pasal 1 ayat 11 UU No. 7 Tahun 2004)
.
Sementara dari sudut
pandang pengelolaan, Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan
ekosistem yang unsur - unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air
dan vegetasi) serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat dan pengelola
sumberdaya alam tersebut. Daerah aliran
sungai dipandang sebagai basis utama yang tepat dalam membentuk unit
pembangunan berkelanjutan yang berpilarkan ekologi, ekonomi dan sosial dikarenakan beberapa hal, yaitu : Daerah Aliran Sungai(DAS)
merupakan sistem alami yang jelas batas-batasnya, rentang area dimulai dari
pegunungan sampai dengan pesisir beserta area diantaranya, dapat memberikan
pandangan secara holistik dari berbagai komponen pembentuknya, memperlihatkan
bagaimana ekosistem dataran tinggi, rendah dan pesisir saling berhubungan dan
sederhana dalam memonitoring pengaruh berbagai aktifitas/kegiatan terhadap
lingkungan. Sebagai sebuah unit
pembangunan berkelanjutan sistem DAS mempunyai kerangka kerja yang mendorong
kolaborasi atau kerjasama diantara stakeholder (pemangku kewajiban)
untuk mengelola, mempertahankan dan mendistribusikan manfaat kepada stakeholder
generasi sekarang dan mendatang, diantara
dan diluar unit tersebut. (Rahmat, 2013)
Sehingga sangatlah
tepat apabila dikatakan bahwa suatuDaerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu
megasistem kompleks yang dibangun atas sistem fisik (physical systems),
sistem biologis (biological systems) dan sistem manusia (human
systems) dimana setiap sistem dan
sub-sub sistem di dalamnya saling berinteraksi. DAS
sebagai suatu sistem akan memelihara keberadaannya dan berfungsi sebagai sebuah
kesatuan melalui interaksi antar komponennya. Kualitas output dari suatu
ekosistem sangat ditentukan oleh kualitas interaksi antar komponennya, sehingga dalam proses ini peranan
tiap-tiap komponen dan hubungan antar komponen sangat menentukan kualitas
ekosistem DAS (Senge, 1994 dan
Kartodihardjo et al., 2004dalam Rahmat,2013)
2.2 Pengelolaan DAS
Sebagai suatu ekosistem, di daerah
aliran sungai terjadi interaksi antara faktor biotik dan fisik yang
menggambarkan keseimbangan masukan dan keluran berupa erosi dan sedimentasi.
Suatu wilayah daratan yang menampung, menyimpan kemudian mengalirkanair hujan
ke laut atau danau melalui satu sungai utamaatausuatu daerah
aliran sungai yang dipisahkan dengan daerah lain oleh pemisah topografis
sehingga dapat dikatakan seluruh wilayah daratan terbagi atas beberapa DAS (Rahmat, 2013).
Unsur-unsur utama di dalam suatu DAS
adalah sumberdaya alam (tanah, vegetasi dan air) yang merupakan sasaran dan
manusia yang merupakan pengguna sumberdaya yang ada). Unsur utama (sumberdaya
alam dan manusia) di DAS membentuk suatu ekosistem dimana peristiwa yang
terjadi pada suatu unsur akan mempengaruhi unsur lainnya (Rahmat, 2013).
DAS merupakan kumpulan dari beberapa
Sub-DAS. Mangundikoro (1985) mengemukakan Sub-DAS merupakan suatu wilayah
kesatuan ekosistem yang terbentuk secara alamiah, air hujan meresap atau
mengalir melalui sungai. Manusia dengan aktivitasnya dan sumberdaya tanah, air,
flora serta fauna merupakan komponen ekosistem di Sub-DAS yang saling berinteraksi
dan berinterdependensi (Rahmat, 2013).
Pengelolaan DAS dapat dianggap
sebagai suatu sistem dengan input manajemen dan input alam untuk menghasilkan
barang dan jasa yang diperlukan baik di tempat (on site) maupun di luar
(off-site). Secara ekonomi ini berarti bentuk dari proses produksi dengan biaya
ekonomi untuk penggunaan input manajemen dan input alam serta hasil ekonomi
berupa nilai dari outputnya (Hulfschmidt, 1985 dalam Rahmat, 2013).
2.3 Kualitas Air
Kualitas air (mutu air) sangat
penting, karena merupakan dasar dan pedoman untuk mencapai tujuan pengelolaan
air sesuai dengan peruntukkannya. Studi dan pembahasan tentang air pada
dasarnya menyangkut tentang dua hal, yaitu kuantitas dan kualitasnya. Hal ini
penting untuk menentukan permasalahan berada di mana, dalam lingkungan apa,
kualitas air yang bagaimana, sehingga dapat dengan tepat menentukan strategi
pengelolaannya.
- Mutu air adalah karakteristik mutu yang dibutuhkan untuk pemanfaatan tertentu dari sumber air. karaktenstik mutu air merupakan sitatu dasar untuk baku mutu air di samping faktor-faktor lain.
- Baku mutu air adalah persyaratan mutu air yang disiapkan oleh suatu negara atau daerah yang bersangkutan. Baku mutu air yang berlaku harus dapat dilaksanakan semaksimal mungkin melindungi lingkungan, tetapi cukup memberi toleransi bagi pembangiman industri atau bentuk pembangunan tertentu dan saran pengendalian pencemaran yang ekonomis. Dalam pengelolaan mutu air dikenal dua baku mutu air dalam sumber air yaitu: “Stream Standard” dan “Effluent Standard”.(Badruddin Mahbub, 1982 dalam Anonim, 2010).
- Stream standard adalah persyaratan mutu air bagi sumber air seperti: sungai, danau, air tanah yang disusun dengan mempertimbangkan pemanfaat sumber air tersebut, kemampuan mengencerkan dan membersihkan diri terhadap beban pencemaran dan faktor ekonomis.
- Effuent standard adalah persyaratan mutu air limbah yang dialirkan ke sumber air, sawah, tanah dan tempat-tempat lain dengan mempertimbangkan pemanfaatan sumber air yang bersangkutan dan faktor ekonomis pengelolaan air buangannya (untuk daerah industri atau daerah pengembangan industri).
Kriteria kualitas sumber air di
Indonesia ditetapkan berdasarkan pemanfaatan sumber-sumber air tersebut dan
mutu yang disyaratkan, sedang baku mutu air limbah ditetapkan berdasarkan
karakteristik suatu sumber air penamping buangan tersebut dan pemanfaatannya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas diperlukan suatu pengelolaan dan
penanganan air dengan maksud antara lain: 1) mendapatkan air yang terjamin
kualitas kesehatannya; 2) mendapatkan air yang bebas dari kekeruhan, warna dan
bau; 3) menyediakan produk air yang sehat dan nyaman; dan 4) menjaga kebutuhan
air konsumen.(Noordwijk& Farida,2004)
Klasifikasi dan kriteria kualitas
air di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, kualitas air diklasifikasikan
menjadi empat kelas yaitu:
·
Kelas I: dapat digunakan sebagai air minum atau untuk
keperluan konsumsi lainnya.
·
Kelas II: dapat digunakan untuk prasarana/sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan dan mengairi tanaman.
·
Kelas III: dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan
air tawar, peternakan dan mengairi tanaman.
·
Kelas IV: dapat digunakan untuk mengairi tanaman.
Secara sederhana, kualitas air dapat
diduga dengan melihat kejernihannya dan mencium baunya. Namun ada bahan-bahan
pencemar yang tidak dapat diketahui hanya dari bau dan warna, melainkan harus
dilakukan serangkaian pengujian. Hingga saat ini, dikenal ada dua jenis pendugaan
kualitas air yaitu fisik, kima dan biologi..(Noordwijk & Farida,2004)
Indikator atau tanda bahwa air
lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati
yang dapat digolongkan menjadi :
·
Pengamatan secara fisis, yaitu pengamatan pencemaran
air berdasarkan tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu, warna dan
adanya perubahan warna, bau dan rasa.
·
Pengamatan secara kimiawi, yaitu pengamatan pencemaran
air berdasarkan zat kimia yang terlarut, perubahan pH.
·
Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan
pencemaran air berdasarkan mikroorganisme yang ada dalam air, terutama ada
tidaknya bakteri pathogen. Indikator yang umum diketahui pada pemeriksaan
pencemaran air adalah pH atau konsentrasi ion hydrogen, oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen, DO), kebutuhan oksigen biokimia (Biochemiycal Oxygen Demand,
BOD) serta kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand, COD)
(Anonim, 2010).
Dalam mempelajari pencemaran air
yang penting untuk diperhatikan adalah:
1. Zat beracun
yang menyebabkan rusaknya atau hilangnya aktivitas biologi di dalam air.
Sebagian besar zat racun ini berasal dari limbah industri termasuk logam berat
dari perlapisan logam, phenol dari gas dan industri pengolahan pestisida dan
radioisotop. Pertumbuhan ganggang kadang-kadang menjadi sebab zat beracun dalam
air, sehingga tidak lagi dapat digunakan untuk minum temak.
2. Material
yang mempengaruhi keseimbangan oksigen di dalam air.
a. Zat yang
mengkonsumsi oksigen terlarut (DO), ini dapat berupa zat organik yang
terdegradasi secara biologi dan menimbulkan BOD atau bentuk reduksi dari zat
anorganik.
b. Zat yang
menghalangi reoksigenasi, DO dalam air diperoleh dari perpindahan oksigen di
atmosfer. Material seperti minyak, detergen dan sebagainya dapat membentuk
lapisan (film) pelindung pada permukaan air yang dapat mengurangi laju
perpindahan oksigen dan memperbanyak efek substansi yang menggunakan oksigen.
c. Aliran
buangan yang panas dapat merubah kesetimbangan oksigen karena konsentrasi jenuh
DO berkurang dengan bertambahnya temperatur.
Oksigen terlarut merupakan faktor
pembatas bagi kehidupan organisme. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat
menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan.
Sedangkan pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan
pencemar yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini
disebabkan oksigen terlarut digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan
berkembang biak (Rahayu, 1991 dalam Anonim, 2010).
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan
dasar untuk kehidupan makhluk hidup didalam air maupun hewan teristrial.
Penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut di dalam air adalah adanya
bahan-bahan buangan organik yang banyak mengkonsumsi oksigen sewaktu penguraian
berlangsung (Hardjojo dan 0,0-15,0 mg/l (Hadic dan Jatna, 1998 dalam Anonim,
2010).
Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005)
dalam Anonim (2010) menyatakan bahwa suhu air normal adalah suhu air yang
memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan metabolisme dan berkembangbiak. Suhu
merupakan faktor fisik yang sangat penting di air, karena bersama-sama dengan
zat/unsur yang terkandung didalamnya akan menentukan massa jenis air, dan
bersama-sama dengan tekanan dapat digunakan untuk menentukan densitas air.
Selanjutnya, densitas air dapat
digunakan untuk menentukan kejenuhan air. Suhu air sangat bergantung pada
tempat dimana air tersebut berada. Kenaikan suhu air di badan air penerima,
saluran air, sungai, danau dan lain sebagainya akan menimbulkan akibat sebagai
berikut: 1) Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun; 2) Kecepatan reaksi
kimia meningkat; 3) Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu. Jika batas
suhu yang mematikan terlampaui, maka akan menyebabkan ikan dan hewan air
lainnya mati.
Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa
di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung
yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses
fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa, sedangkan
pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom
perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997
dalam Anonim, 2010).
Pengaruh suhu secara tidak langsung
dapat menentukan stratifikasi massa air, stratifikasi suhu di suatu perairan
ditentukan oleh keadaan cuaca dan sifat setiap perairan seperti pergantian
pemanasan dan pengadukan, pemasukan atau pengeluaran air, bentuk dan ukuran
suatu perairan. Suhu air yang layak untuk budidaya ikan laut adalah 27 – 32 0C
(Mayunar et al., 1995; Sumaryanto et al.,2001 dalam Anonim, 2010). Kenaikan
suhu perairan juga menurunkan kelarutan oksigen dalam air, memberikan pengaruh
langsung terhadap aktivitas ikan disamping akan menaikkan daya racun suatu
polutan terhadap organism perairan (Brown dan Gratzek, 1980 dalam Anonim,
2010).
Selanjutnya Kinne (1972) dalam
Anonim (2010) menyatakan bahwa suhu air berkisar antara 35 – 40 0C
merupakan suhu kritis bagi kehidupan organism yang dapat menyebabkan kematian.
Di Indonesia, suhu udara rata-rata pada siang hari di berbagai tempat berkisar
antara 28,2 0C sampai 34,6 0C dan pada malam hari suhu
berkisar antara 12,8 0C sampai 30 0C. Keadaan suhu
tersebut tergantung pada ketinggian tempat dari atas permukaan laut. Suhu air
umumnya beberapa derajat lebih rendah dibanding suhu udara disekitarnya. Secara
umum, suhu air di perairan Indonesia sangat mendukung bagi pengembangan
budidaya perikanan (BPS, 2003; Cholik et al.,2005 dalam Anonim, 2010).
pH merupakan suatu pernyataan dari
konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air, besarannya dinyatakan dalam minus
logaritma dari konsentrasi ion H. Besaran pH berkisar antara 0 – 14, nilai pH
kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang masam sedangkan nilai diatas 7
menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH =7 disebut sebagai netral (Hardjojo
dan Djokosetiyanto, 2005 dalam Anonim, 2010).
Perairan dengan pH < 4 merupakan
perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk hidup,
sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan yang sangat basa yang dapat
menyebabkan kematian dan mengurangi produktivitas perairan. Perairan laut
maupun pesisir memiliki pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang
sempit, biasanya berkisar antara 7,7 – 8,4. pH dipengaruhi oleh kapasitas
penyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang
dikandungnya (Boyd, 1982; Nybakken, 1992).
Pescod (1973) dalam Anonim (2010)
menyatakan bahwa toleransi untuk kehidupan akuatik terhadap pH bergantung
kepada banyak faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen terlarut, adanya
variasi bermcam-macam anion dan kation, jenis dan daur hidup biota. Perairan
basa (7 – 9) merupakan perairan yang produktif dan berperan mendorong proses perubahan
bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diassimilasi oleh
fotoplankton (Suseno, 1974 dalam Anonim, 2010).
pH air yang tidak optimal
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan, menyebabkan tidak
efektifnya pemupukan air di kolam dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme
seperti NH3 dan H2S. pH air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan
memiliki pola hubungan terbalik, semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka pH
akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila
air mengandung garam CaCO3 (Cholik et al., 2005 dalam Anonim, 2010).
Fungsi
hutan dalam ekosistem DAS perlu dipandang dari tiga aspek berbeda, yaitu pohon,
tanah dan lansekap (landscape).
Vegetasi hutan berfungsi mengintersepsi air hujan, namun laju transpirasi yang
tinggi mengakibatkan perbandingan dengan jenis vegetasi non-irigasi lainnya.
Tanah hutan memiliki lapisan seresah yang tebal, kandungan bahan organik tanah,
dan jumlah makro porositas yang cukup tinggi sehingga laju infiltrasi air lebih
tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian. Dari sisi lansekap, hutan tidak
peka terhadap erosi karena memiliki filter berupa seresah pada lapisan
tanahnya. Hutan dengan karakteristik tersebut di atas sering disebut mampu meredam
tingginya debit sungai pada saat musim hujan dan menjaga kestabilan aliran air
pada musim kemarau. Namun prasyarat penting untuk memiliki sifat tersebut
adalah jika tanah hutan cukup dalam (e-3m). Dalam kondisi ini hutan akan mampu
berpengaruh secara efektif terhadap berbagai aspek tata air (Noordwijk dan
Farida, 2004).
Daerah
resapan air berperan sebagai penyaring air tanah. Ketika air masuk ke daerah
resapan maka akan terjadi proses penyaringan air dari partikel-partikel yang
terlarut di dalamnya. Hal ini dimungkinkan karena perjalanan air dalam tanah
sangat lambat dan oleh karenanya memerlukan waktu yang relatif lama. Pada
keadaan normal, aliran air tanah langsung masuk ke sungai yang terdekat (Asdak,
1995).
Berkurangnya
infiltrasi air ke dalam tanah yang mengalami erosi di bagian hulu DAS
menyebabkan pengisian kembali (recharge) air di bawah tanah (ground water) juga
berkurang yang mengakibatkan kekeringan di musim kemarau. Dengan demikian
terlihat bahwa peristiwa banjir dan kekeringan merupakan fenomena ikutan yang
tidak terpisahkan dari peristiwa erosi. Bersama dengan sedimen, unsur-unsur
hara terutama N dan P serta bahan organikpun banyak yang ikut terbawa masuk ke
dalam waduk atau danau (Agus, dkk., 2007 dalam Kakarman, 2011).
III.
METODE PRAKTEK
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah meteran roll, stopwatch,
tali rafia
dan kalkulator. Bahan yang
digunakan yaitu sepotong kayu, tali rafia, botol aqua/bola pimpong.
3.3 Prosedur
Kerja
Dalam pengamatan debit air mula-mula kita mempersiapkan alat dan bahan yang telah disiapkan,
kemudian kita mengukur panjang sungai ke bawah sebesar 10 meter dan lebar sungai bagian atas, tengah dan bawah dengan menggunakan meteran roll
sebesar 5 meter, kemudian
diberikan patok yang telah diikat tali rafia untuk pembatas-pembatasnya. Setelah
itu, pada lebar sungai bagian atas mengukur panjang horizontal pada jarak antar
2 (dua) titik masing-masing sebesar 1 meter. Selanjutnya, mengukur kedalaman
sungai antar jarak titik panjang horizontal. Kemudian melihat kecepatan aliran sungai dengan menggunakan botol aqua atau bola pimpong sebagai medianya dan stopwatch sebagai alat pencatat kecepatan, percobaan tersebut dilakukan sebanyak 3
kali.
3.4 Analisis Data
1. Mengukur panjang dan lebar sungai
2. Mengukur luas penampang sungai
3. Menghitung kecepatan rata-rata aliran air sungai dengan menggunakan bola pimpong
4. Mengambil
air sungai dengan menggunakan botol aqua
lalu mengendapkannya selama beberapa jam
untuk mengamati kualitas air tersebut.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Setelah melakukan pengamatan,
dapat diperoleh hasil sebagai berikut
:
D1 : l1 = 1 m d1
= 0,19 m
l2 = 1 m d2=0,22 m
l3 =1 m d3
= 0,24 m
l4 =1 m d4
= 0,26 m
l5 =0,8 m d5 = 0,26 m
L = 10 m
T1 = 4,715
T2= 5,095
T3= 6,215
Fk = 0,65
D2 : Debit
air Sungai … ?
D3 :
Rumus :
· A = l1 .d1+l2 . d2 + l3 .
d3 + l4 . d4 +l5 . d5
·
V = 

· Q = A . V
Dimana : l = lebar penampang horizontal (m)
d = kedalaman (m)
L = Jarak antara
2 titik pengamatan (m)
T = Waktu tempuh
(s)
Q = Debit Air (m3/s)
A = Luas penampang
(m2)
V = Kecepatan (m/s)
Sehingga Q :
·
A = l1 .d1 +l2 . d2 + l3
. d3 + l4 . d4 +l5 . d5
A = (1.0,19) + (1.0,22)
+ (1.0,24) + (1.0,26) + (0,8.0,26)
A = 0,19 + 0,22 + 0,24 + 0,26 +
0,208
A = 1,118 m2
·
V = L / T
V = 10 / 0,19
V = 52,63x 0,65
V = 34, 21 m/s
· Q = A . V
= 1,118 x 34,21
= 38,25 m3/s
4.2 Pembahasan
Debit air
termasuk dalam pengelolaan suatu DAS yang sangat penting untuk dikelola karena
akan berkaitan dengan kehidupan masyarakat sekitar aliran sungai. Dan untuk
mencari debit air suatu sungai, kita harus mengetahui luas penampang dan
kecepatan aliran suatu sungai, dengan cara mengukur lebar penampang horizontal
dan kedalaman sungai tersebut. Pengukuran lebar sungai sepanjang 5 (lima) meter
dilakukan untuk mengetahui lebar penampang masing-masing horizontalnya (l)
begitupun untuk kedalaman sungai tersebut (d), dimana l1 = 1 m ; l2 = 1 m ; l3 = 1 m ; l4 = 1 m ; l5 = 0,8 m
dan untuk kedalaman (d), d1 = 0,19 m ; d2 = 0,22m ; l3 = 0,24 m ;
l4 = 0,26 m ; l5
= 0, 26 m.
Mencari kecepatan aliran suatu sungai, terlebih dahulu mencari nilai
jarak antara 2 (dua) titik pengamatan dan waktu tempuh aliran sungainya. Untuk
waktu tempuhnya diperlukan 3 (kali) percobaan agar mendapat waktu rata-rata
aliran sungainya. Waktu tempuh yang pertama sebesar 4,71 s, waktu tempuh kedua
sebesar 5,09 s dan waktu tempuh yang terakhir sebesar 6, 21 s. Sehingga waktu
tempuh rata-rata aliran sungainya sebesar 0,19 s. Dan untuk jarak antara 2
titik pengamatan sebesar 10 m. Rumus kecepatan (V) adalah L/T, dan hasil yang
didapatkan sebesar 52,63 m/s, kemudian hasil tersebut dikalikan lagi dengan
faktor koreksi sebesar 0, 65. Jadi, untuk kecepatan (V) sebesar 34,21 m/s.
Sehingga Debit Air (Q) yang diperoleh di
sungai Poboya dari luas penampang (A) dikalikan dengan kecepatan (V) sebesar 38,25 m3/s. Akan tetapi,
pengukuran debit air sungai memerlukan penentuan lokasi alat ukur yang memadai
untuk mendapatkan kecepatan aliran sungai rata-rata yang tepat. Jumlah lokasi
alat ukur perlu dibatasi agar waktu yang diperlukan masih dalam jangkauan,
terutama bila terjadi perubahan yang tinggi maka air akan berlangsung sangat
cepat.
Pelestarian
hutan juga penting dalam rangka menjaga kestabilan debit air yang ada di DAS,
karena hutan merupakan faktor utama dalam hal penyerapan air tanah serta dalam
proses Evaporasi dan Transpirasi. Juga pengendali terjadinya longsor yang
mengakibatkan permukaan sungai menjadi dangkal, jika terjadi pendangkalan maka
debit air sungai akan ikut berkurang.
Selain menjaga pelestarian hutan,
juga yang tidak kalah pentingnya yang sangat penting kita perhatikan yaitu
tingkah laku manusia terhadap DAS, seperti pembuangan sampah sembarangan.
Hal-hal berikut ini adalah yang
mempengaruhi debit air:
1. Intensitas hujan.
2. Pengundulan Hutan
3. Pengalihan hutan menjadi
lahan pertanian
4. Intersepsi
5. Evaporasi dan Transpirasi
Debit aliran dapat dijadikan sebuah
alat untuk memonitor dan mengevaluasi neraca air suatu kawasan melalui
pendekatan potensi sumberdaya air permukaan yang ada (Windi, 2011).
Suatu DAS dikatakan baik apabila:
� Debit sungai
konstan dari tahun ke tahun
� Kualitas air baik
dari tahun ke tahun
� Fluktuasi antara
debit maksimum dan minimum kecil
� Ketinggian muka
air tanah konstan dari tahun ke tahun
� Kondisi curah
hujan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu
V. KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum
yang telah kami lakukan dapat disimpulkan bahwa:
1.
Kuantitas Debit Air (Q) yang
dimiliki oleh sungai Poboya berkisar 38,25 m3/s.
2.
Air yang
terdapat di sungai Poboya tidak mengalami tingkat kejernihan melainkan terjadi tingkat kekeruhan pada air sungai tersebut .
Hal ini bisa saja terjadi karena terkikisnya lapisan tanah akibat air
hujan.
5.2 Saran
Kami berharap dalam praktek nantinya dapat memilih
waktu yang lebih baik lagi dan alat yang diperlukan dapat disiapkan selengkap
mungkin agar pengukuran yang dilakukan di lapangan dapat meminimalisir
kesalahan yang terjadi.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
2010. Laman Web :
Diakses pada tanggal 19 Juni 2013
Kiki.
2013. Debit Air. Laman Web :
Diakses pada 19
Juni 2013
Kakarman. 2011. Makalah Ilmu Lingkungan. Tambang Emas
Poboya. Laman Web : http://kakarmand.blogspot.com/2011/03/makalah-mata-kuliah-ilmu-lingkungan.html
Diakses pada
tanggal 19 Juni 2013
Noordwijkdan
Farida, 2004. Teknik Sumberdaya Air. Erlangga
: Jakarta.
Rahmat. 2013. Laporan Lengkap Makalah DAS. Laman Web :
Rahmat. 2013. Laporan Lengkap Makalah DAS. Laman Web :
Diakses pada
tanggal 19 Juni 2013
Undang-undang
Nomor 7/2004 Pasal 1. DepartemenPertanian,
PerhimpunanMeteorologipertanianIndonesia : Jakarta.
Windi. 2011. Faktor Penentu Debit Air. Laman Web :
ilmu-tekniksipil.blogspot.com/2011/01/faktor-penentu-debit-air.html
Diakses pada tanggal 21 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar