Kamis, 16 Januari 2014

Laporan Lengkap Praktikum Hasil Hutan Non-Kayu



I.      PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Hasil hutan non-kayu adalah bahan-bahan atau komoditas yang didapatkan dari hutan tanpa harus menebang pohon. Mencakup hewan buruan, rambut hewan, kacang-kacangan, biji, buah beri, jamur, minyak, daun, rempah-rempah, rempah daun, gambut, ranting untuk kayu bakar, pakan hewan ternak, dan madu. Selain itu, tumbuhan paku, kayu manis, lumut, karet, resin, getah, dan ginseng juga masuk ke dalam kategori hasil hutan non-kayu (Kasmudjo, 2011)

Laporan Lengkap Praktikum Perlindungan Hutan



I.     PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Hutan merupakan tumpuan dan harapan bagi setiap komponen mahkluk hidup yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil baik yang bersifat benefit cost maupun non benefit cost, namun dalam upaya untuk memaksimalkan fungsi hutan terkadang muncul faktor – faktor yang dapat menjadi pembatas tercapainya fungsi dan manfaat hutan secara optimal.

Laporan Lengkap Praktikum Ilmu Tanah dan Evaluasi Lahan Hutan



I.                  PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Ilmu tanah adalah pengkajian terhadap tanah sebagai sumber daya alam. Dalam ilmu ini dipelajari berbagai aspek tentang tanah, seperti pembentukan, klasifikasi, pemetaan, berbagai karakteristik fisik, kimiawi, biologis, kesuburannya, sekaligus mengenai pemanfaatan dan pengelolaannya. Tanah adalah lapisan yang menyeliputi bumi antara litosfer (batuan yang membentuk kerak bumi) dan atmosfer. Tanah menjadi tempat tumbuh tumbuhan dan mendukung kehidupan hewan dan manusia.

Laporan Lengkap Praktikum Ekologi SDH



I.                  PENDAHULUAN
I. 1    Latar Belakang
          Analisis vegetasi merupakan cara yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sebaran berbagai spesies dalam suatu area melaui pengamatan langsung. Dilakukan dengan membuat plot dan mengamati morfologi serta identifikasi vegetasi yang ada.

Laporan Lengkap Praktikum DAS-Me and friend's



I.  PENDAHULUAN
1.1     LatarBelakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaatan sumberdaya alam tersebut. Daerah aliran sungai di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensef sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi daerah aliran sungai semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian besarnya.

Laporan Lengkap Praktikum Silvikultur-Me and Friend's



                                                                                                                                                I.            PENDAHULUAN
1.1                   Latar Belakang
Hutan bukan hanya merupakan sekumpulan individu, tetapi merupakan suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks, yang terdiri dari selain pohon, semak, tumbuhan basah, jasad renik tanah dan hewan lainnya. Mereka satu sama lain terikat dalam hubungan ketergantungan.

Penilaian Ekonomi SDH Objek yang Dinilai



Objek yang dinilai       : Taman GOR Kota Palu
Kunjungan                  : Kamis, 31 Oktober 2013
                                      15.30 WITA

§    Analisis Wilayah Studi dan Fungsi serta Jasa Ekosistem.
Taman GOR merupakan salah satu taman kota yang sangat terkenal di wilayah Palu, yang dijadikan sebagai objek atau tempat berlangsungnya berbagai aktifitas masyarakat Palu. Baik yang berada di sekitar taman GOR ataupun yang berada jauh dari taman GOR tersebut. Taman GOR adalah taman kota yang berada di lingkungan perkotaan dalam skala yang cukup luas dan dapat mengantisipasi dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan kota dan dapat dinikmati oleh seluruh warga kota Palu.

Makalah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)



                                                                                                                                                I.            PENDAHULUAN
1.1.            Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian besarnya.

Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA)



1.                 PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Sumber daya alam yang ada dimuka bumi merupakan sumber daya esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Hilang atau berkurangnya ketersediaan sumber daya alam tersebut akan berdampak terhadap kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, yang menjadi persoalan mendasar sehubungan dengan pengelolaan sumber daya alam adalah bagaimana mengelola sumber daya alam tersebut, agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia tanpa mengorbankan keletarian sumber daya alam itu sendiri.

Makalah Kadar Air Kayu



I.    PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Air adalah unsur alami semua bagian suatu pohon yang hidup. Dalam bagian xylem, air (lengas) umumnya berjumlah lebih dari separuh berat total; artinya berat air dalam kayu segar umumnya sama atau lebih besar daripada berat kayu kering. Sejumlah air akan segera hilang apabila pohon mati atau suatu kayu gelondongan diolah menjadi kayu gergajian, finir atau serpih kayu. Keadaan yang demikian bila berlangsung cukup lama akan mempengaruhi dimensi dan sifat-sifat kayu tersebut.

Makalah Pengukuran Volume Tegakan



I. PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
Dalam inventarisasi hutan penaksiran volume tegakan diminimalkan pada salah satu variabel penting. Volume tegakan selalu ditaksir dengan mengukur sejumlah pohon dalam petak ukur sebagai sampel. Parameter pohon yang diukur dalam setiap petak ukur tersebut adalah diameter (setinggi dada), tinggi dan jumlah pohon.  Penaksiran volume pohon dari sampel lapangan dan dari tegakan dilakukan melalui pengukuran dan pohon-pohon seperti diameter pada setinggi dada dan pada ketinggian lainnya dari cabang (pada pohon yang telah ditebang). Tinggi spesies pada ketinggian tertentu dari batang, atau panjang pada sepanjang batang atau cabang-cabang dan tebal kulit.

Jumat, 03 Januari 2014

Makalah Kimia-Protein-



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembentuk protein, protein dibentuk oleh asam amino. Bersifat amfoter: dapat bersifat asam maupun basa (ion zwitter). Ada beberapa kegunaan protein dalam tubuh yaitu: sebagai koponene pembuat jaringan baru atau memperbaiki jaringan yang baru dan sebagai komponen penting dalam kontrol genetika.

Makalah Pengawetan Kayu



I.                  PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Kayu telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, karena kayu telah banyak digunakan sebagai alat perlengkapan sehari – hari mengingat karasteristik khas kayu khas yang tidak jumpai pada bahan lain, yaitu tersedia hampir diseluruh dunia, penampilan sangat dekoratif dan alami, mudah diperoleh dalam berbagai bentuk dan ukuran, relatif mudah dalam pengerjaan, serta ringan.

Makalah Perladangan



I.                  PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Perladangan masih merupakan cara hidup penting bagi sebagian masyarakat miskin dan terpencil di pedesaan. Transformasi perladangan sebagaimana yang terjadi di Sumatra, baik ke arah positif atau negatif, terjadi juga di daerah lain. Kiranya, akan lebih bermakna bilamana proses transisi pola perladangan secara gradual dan sistem agroforestry yang terbentuk dalam proses evolusi tersebut dibiarkan berjalan sesuai dengan harapan masyarakat lokal.
FAO (Food Agriculture Organisation) melihat peladang ini sebagai suatu bencana International yang perlu segera mendapat perhatian. Hal ini terbukti dengan diterbitkannya buku L ‘agriculture nomade pada tahun 1956 oleh G. Tondeur yang membicarakan masalah perladangan di Congo dan Afrika Barat, kemudian 1957 diterbitkan buku yang kedua, Hanunoo agriculture di daerah Philiphina oleh H.C. Conklin. FAO memberikan perhatian besar terhadapa persoalan ini dan telah mengambil inisiatif untuk menggalakkan studi tentang obyek ini melalui cabang kehutanan dan Industri Kehutannannya.
Tujuan FAO mengatasi perladangan adalah untuk mempropagandakan metode-metode pertanian-pertanian modern yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas produksi yang berguna dan hasil-hasil hewan yang dapat diperoleh dari tanah-tanah yang tersedia. Keperluan utama didaerah tropik basah adalah intensifikasi pertanian dan penambahan hasil persatuan luas. Peralihan dari pertanian tradisional ke pertanian yang telah berkembang dengan baik seringkali amat sukar untuk dicapai, dan penggunaan metode-metode yang intensif di dalam keadaan ini seringkali berakhir dengan kegagalan.
Teknik-teknik perladangan sama saja dimana-dimana yakni penebangan dan pembakaran vegetasi berkayu diikuti dengan penanaman selama satu, dua, atau tiga tahun, kemudian tanah ditinggalkan dan kembali menjadi hutan atau tutupan belukar selama periode yang panjang. Selain kesamaan ini, perladangan mempunyai perbedaan-perbedaan dalam hal tipe dan kehidupan daripada peladangnya sendiri. Kemudian para peladang sangat berbeda dari satu tempat ketempat lain dimana perladangan tersebut tidak selalu mengarah ke kehidupan nomadik.
Di Indonesia, banyak dijumpai perladangan berpindah-pindah karena merupakan kebiasaan yang sudah menjadi adat, sudah menjadi way of life dari penduduk yang bersangkutan. Pandangan ini didasarkan pada pengamatan mereka, bahwa perladangan berpindah-pindah itu dilakukan oleh orang berabad-abad lamanya tanpa sesuatu perubahan yang berarti.
Tetapi menurut Soedarwono, Dosen Fakultas Kehutanan UGM, penyebab adanya perladangan berpindah di Indonesia bukan karena adatnya sudah begitu. Perladangan berpindah, sesuatu bentuk pertanian yang resultante dari pengaruh alam lingkungan yang memaksa manusia bertindak menyesuaikan diri.

1.2              Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut :
1.      Apa definisi dari perladangan?
2.      Apa ciri-ciri dari perladangan?
3.      Seperti apa masalah perladangan dan akibat yang ditimbulkan?

1.3              Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui definisi dari perladangan, ciri-ciri perladangan dan masalah apa yang terjadi dari perladangan tersebut dan apa akibat yang ditimbulkannya.



II.               PEMBAHASAN
2.1              Perladangan
Perladangan meliputi areal yang sangat luas di atas bumi ini, terutama di daerah tropik basah, dimana di daerah ini diketemukan di Negara-negara yang sedang berkembang. Perladangan dapat didefinisikan sebagai suatu teknik pertanian  dengan cara adab peralatan yang masih primitive, tanpa adanya penanaman modal dan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarganya. Pada umumnya dilakukan di atas tanah yang cepat sekali kehilangan kesuburannya, sehingga memaksa peladang melakukan pertanian berpindah-pindah untuk menyambung kebutuhan mereka.
‘Berladang’ merupakan kegiatan bercocok tanam oleh sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini sangat erat kaitannya dengan tradisi budaya. ‘Perladangan bergilir’ atau biasa dikenal dengan ‘perladangan berpindah’, adalah istilah lain yang menggambarkan masa tanam dan masa bera yang berlangsung secara bergiliran. ‘Sistem tebas dan bakar’, mengacu pada konsep ladang bergilir, yang dalam proses penyiapan lahan diawali dengan cara ‘tebas dan bakar’. Namun demikian, cara ini seringkali dihubungkan dengan pengrusakan atau perambahan hutan karena dilakukan dalam skala luas oleh perkebunan besar atau petani pendatang.
Istilah seperti berladang, perladangan bergilir, sistem tebas bakar, mengacu pada deskripsi aktivitas perladangan. Secara teknis, istilah-istilah tersebut memiliki makna dan arti yang nyaris serupa, namun memberi langgam dan pola yang berbeda. Perubahan praktek perladangan baik secara bertahap maupun langsung dapat menjadi ‘solusi’ atau ‘masalah’, tergantung dari persepsi mana kita melihatnya. Seperti halnya dengan negara lain, dewasa ini, masalah ‘perladangan’ di Indonesia dipandang dari berbagai persepsi yang berbeda dan seringkali justru dianggap sebagai kegiatan yang melanggar hokum.
Isu pengurangan emisi, deforestasi, dan degradasi menambah pelik permasalahan ‘perladangan’ yang sebenarnya sudah diterapkan oleh masyarakat tradisional secara turun-temurun. Dalam kaitannya dengan emisi global, penggunaan api atau aktivitas lain di areal hutan yang dianggap meng-emisi-kan gas rumah kaca menjadi isu hangat yang dihubungkan dengan insentif ekonomi dalam mengurangi emisi. Namun demikian, di dalam setiap pembahasan, aspirasi rakyat seringkali terabaikan. Perladangan selalu dikaitkan dengan subsistensi dan keterbelakangan, bukan dianggap sebagai suatu model pembangunan yang berkelanjutan. Pandangan seperti ini sejatinya dapat mengabaikan dinamika perladangan yang sesungguhnya.
Dalam mengkaji masalah perladangan, ada tiga pengetahuan dasar yang harus berjalan bersama dengan harmonis, yaitu pengetahuan dan pemahaman masyarakat lokal, perspektif ilmiah, serta kebijakan publik untuk mendukung pembangunan Dalam rangka membahas permasalahan ‘berakhirnya kegiatan perladangan di Negara-negara di Asia Tenggara’, pada Bulan Maret 2008 di Hanoi, Vietnam, sekelompok ilmuwan di bidang sosial, ekonomi, dan ekologi yang berkiprah dalam isu penggunaan lahan di kawasan hutan berkumpul bersama. Secara umum, maksud dan tujuan konferensi tersebut adalah untuk mengkaji perubahan kegiatan perladangan di Asia Tenggara, sehingga kesenjangan yang muncul dalam masyarakat peladang dapat dikenali, diisi dan segera diatasi. Secara rinci, tujuan kajian perladangan di Asia Tenggara ini adalah sebagai berikut:
1.      Menganalisis perubahan pola perladangan dan tutupan lahan dalam beberapa tahun terakhir menggunakan peta dan data penginderaan jarak jauh;
2.      Mengkaji populasi peladang menggunakan data dan kajian demografi dan ekonomi dari beberapa negara di Asia Tenggara;
3.      Menelaah dampak perubahan pola perladangan terhadap lingkungan sosial, khususnya pada aspek penghidupan masyarakat, ekonomi dan budaya, berbasis pada sejumlah studi kasus dan kajian regional;
4.      Menganalisis dampak perubahan pola perladangan terhadap lingkungan alam, bentang lahan, keanekaragaman hayati, sumber daya air, dan iklim global, berbasis pada sejumlah studi kasus dan kajian regional;
5.      Menganalisis pentingnya kebijakan sebagai faktor pendorong perubahan, meliputi pengkajian masalah ‘komodifikasi1’, perubahan skala produksi, kebijakan ekonomi, kepemilikan lahan, infrastruktur, dan kebijakan konservasi pada skala nasional maupun sub regional;
6.      Membangun suatu forum komunikasi untuk mendapatkan perbandingan hasil penelitian perladangan di negara-negara Asia Tenggara; dan
7.      Mengembangkan ide dan konsep pengelolaan sistem perladangan sebagai bahan pertimbangan kepada para pembuat kebijakan di beberapa negara di Asia Tenggara.
Pertanian ladang (swidden agriculture), perladangan berpindah, perladangan bergilir, perladangan gilir balik – merupakan sejumlah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem penggunaan lahan yang melibatkan ‘fase tanam atau fase produksi’ dan ‘masa bera’, yaitu masa dimana vegetasi dibiarkan bersuksesi secara alami. Ladang atau huma didefinisikan sebagai lahan berhutan yang dibersihkan untuk produksi tanaman pangan. Adakalanya tanaman ini dikombinasikan dengan tanaman semusim lainnya dan atau tanaman keras baik dalam satu kurun waktu atau dalam beberapa periode. Tujuannya adalah untuk konsumsi pribadi maupun dijual. Pada masa bera dalam sistem berhuma atau berladang, tanaman perintis berkayu dibiarkan tumbuh secara alami hingga berupa hutan. Proses penumpukkan serasah daun terjadi secara terus menerus. Tumbuhan lapisan bawah semakin jarang tumbuh. Selain itu, pada masa bera terjadi penumpukan unsur hara pada biomasa tanaman berkayu. Unsur hara ini dilepaskan kembali bilamana pembersihan lahan atau ‘tebas dan bakar’ dilakukan.
Karena itu, keberlanjutan proses perubahan dari pola perladangan perlu lebih diperhatikan daripada hanya berkutat dalam perdebatan mengenai bentuk dasar sistem perladangan. Paham mengenai proses evolusi, baik alam maupun sosial ekonomi, seharusnya dipandang sebagai suatu proses perubahan secara bertahap dalam merespon tekanan seleksi. Dengan demikian, orang tidak hanya terjebak dalam pandangan bahwa perubahan selalu mengarah pada bentuk kehidupan yang ‘lebih tinggi’ tingkatannya.
Perladangan berkembang menjadi tiga model, yaitu:
1.      ‘Agroforest’, dimana tanaman berkayu memiliki nilai yang sama bahkan bisa lebih tinggi daripada nilai tanaman pangan;
2.      Sistem pastura atau padang penggembalaan, dimana lahan bera didomestikasi untuk areal pakan ternak; atau
3.      Pertanian menetap sebagai bentuk intensifikasi pertanian. Misalnya penggunaan tanaman penutup tanah dari kelompok legum (kacang-kacangan) atau tanaman penyubur, penggunaan pupuk kandang yang dihasilkan dari padang penggembalaan, atau penggunaan pupuk kimia yang menggantikan fungsi masa bera sebagai unsur tambahan untuk mengembalikan kesuburan tanah. Sejumlah penelitian mengenai ‘perladangan’ difokuskan hanya pada fase tanam dan kesuburan tanah. Fase tanam diartikan sebagai fase penurunan kesuburan tanah, sebaliknya fase bera merupakan fase pemulihan kesuburan tanah. Penurunan dan peningkatan kesuburan tanah berlangsung seiring dengan produktivitas tanaman.
Penurunan dan peningkatan produksi tanaman terjadi karena adanya interaksi fisik, kimia dan biologi tanah; dimana gulma, hama dan penyakit tidak mudah diuraikan oleh konfigurasi tanah setempat. Perbedaan jenis tanah, ruang tumbuh vegetasi dan kondisi iklim membuat hubungan saling mempengaruhi antar faktor menjadi lebih kompleks. Namun demikian, model penurunan dan pemulihan kesuburan tanah secara sederhana sebagaimana dikemukakan Trenbath (1989) sangat bermanfaat sebagai langkah awal untuk memahami dinamika tersebut.
2.1.1    Sejarah dan konteks internasional
Sistem berladang (swidden) terdiri dari masa tanam dan masa bera (peralihan ke tumbuhan berkayu untuk menjadi hutan sekunder). Dalam melihat hubungan antara masa tanam dan bera, keterbatasan akses ke hutan menjadi faktor pendorong terjadinya intensifikasi dan perpendekan masa bera. Dengan demikian, dinamika kegiatan perladangan ini berkaitan langsung dengan sejarah munculnya kelembagaan hutan yang mengatur akses ke hutan baik yang memiliki ataupun tidak memiliki sejarah penggunaan lahan sebagai ladang (areal bercocok tanam). Pada kondisi kepadatan penduduk yang rendah, lahan masih berlimpah dan potensi produksi ditentukan oleh jumlah tenaga kerja dalam pembersihan lahan.
2.1.2    Kelembagaan perhutanan di Indonesia
‘Hutan’ berasal dari bahasa Latin ‘forestis’, yang berarti ‘tidak tertutup’. Kata ini merujuk pada pengertian tanah yang berada di luar kendali desa atau petani, yang dikendalikan otoritas pemerintah pusat, dalam hal ini Raja. Pengertian ini tidak secara spesifik merujuk pada pengertian komposisi tumbuhan berkayu, sebagaimana digambarkan dalam istilah ‘silva’ (berasal dari bahasa Latin) yang merujuk pada pengertian ‘vegetasi berkayu’ dan juga diterjemahkan sebagai ‘hutan’. Kayu dan hasil hutan non-kayu (misalnya, binatang buruan) secara bergantian merupakan manfaat langsung dari hutan (forestis) yang harus dipersembahkan kepada pemerintah sebagai upeti. Sejalan dengan semakin pentingnya manfaat pohon-pohon besar sebagai bahan kapal yang dapat menunjukkan kekuatan tentara dan panglima maritim, pengelolaan hutan lebih diarahkan untuk menghasilkan kayu.
Untuk mengakomodir hak dan harapan masyarakat atas lahan; analisis sejarah lahan, batas dan hak masyarakat sangat diperlukan. Sebelum masa kemerdekaan, di wilayah yang memiliki konflik batas hutan dan hak lokal, perdebatan masalah administrasi kepemerintahan kolonial banyak terdengar. Penguasaan Belanda di Indonesia terutama ditujukan untuk perdagangan, produksi dan ekspor tanaman pangan, serta stabilitas politik dalam mengakui otoritas kolonial.  Pembuatan kapal besar merupakan alasan mengapa kolonial berupaya membangun otoritas penuh terhadap hutan, terutama karena mereka tertarik pada hutan jati di pulau Jawa. Pada tahun 1920, mulai terjadi perdebatan mengenai perladangan sebagai pesaing pihak perkebunan Eropa dalam penguasaan lahan. Hal inilah yang dikemudian hari menjadi dasar pikiran perlunya mengontrol aktivitas perladangan masyarakat.

2.2       Perladangan Bukan Penyebab Deforestasi
Definisi hutan yang secara Internasional diakui menggabungkan elemen vegetasi, penguasaan kelembagaan dan pemulihan pertumbuhan pohon. Definisi yang digunakan dalam Statistik kehutanan FAO dan Protokol Kyoto memiliki dua komponen, yang pertama memperhatikan aspek tutupan tajuk dan ketinggian pohon, dan yang kedua mengacu pada kerangka lembaga kehutanan. Definisi tersebut adalah:
areas normally forming part of the forest area which are temporarily unstocked as a result of human intervention such as harvesting or natural causes but which are expected to revert to forest”. Areal yang pada kondisi normal tumbuh menjadi hutan, namun pada keadaan tertentu dapat berkurang stoknya baik secara alami maupun akibat intervensi manusia seperti pemanenan, tetapi diharapkan dapat pulih kembali menjadi hutan.
Makna dari definisi ‘pengurangan stok pada kondisi tertentu atau sementara’ bermaksud menunjukkan bahwa penebangan dan penanaman dapat dilakukan sebagai pengelolaan hutan yang wajar. Definisi tersebut menyatakan bahwa perladangan dan rotasi masa bera bukan merupakan deforestasi bilamana pepohonan dapat mencapai tinggi dan tutupan kanopi yang telah ditentukan. Pembukaan lahan untuk pembangunan perkebunan kayu industri dan kelapa sawit dapat dilakukan dalam definisi hutan tersebut, namun setelah lahan dibuka, pertumbuhan vegetasi berkayu perlu dilakukan. Anggapan perladangan sebagai penyebab deforestasi tidak sejalan dengan definisi hutan yang telah diakui secara internasional.
Intensifikasi lahan menyebabkan berkurangnya tutupan tajuk dan ketinggian tanaman yang tumbuh pada masa bera. Akibatnya, areal ini tidak lagi dikategorikan sebagai hutan meskipun lembaga kehutanan menegaskan areal tersebut masih merupakan kawasan hutan. Pembukaan lahan dengan tebas bakar dipandang sebagai ancaman besar oleh kepentingan ekonomi yang berkuasa. Argumentasi lingkungan dibawa ke ranah diskusi, dan sebagai dalih, definisi yang telah disepakati tersebut diartikan bahwa perkebunan kayu industry disebut sebagai hutan, namun areal lain dengan berbagai tanaman keras tahunan tidak dianggap sebagai hutan. Definisi ‘hutan’ dibuat oleh ‘orang-orang kehutanan’, dan bukan oleh masyarakat. Pengakuan terhadap petani kecil masih kurang, dan mereka lebih suka menyebut areal berkayu yang dimilikinya sebagai ‘kebun’ untuk menghindari konflik dengan lembaga-lembaga kehutanan. Dalam meja perdebatan internasional tentang REDD di Negara berkembang, penting dicatat bahwa perladangan (dalam kerangka definisi hutan yang digunakan dalam protokol Kyoto), bukan menjadi penyebab deforestasi. Meski demikian, diakui bahwa aktivitas perladangan dapat menyebabkan penurunan ketersediaan karbon, sebagaimana juga perkebunan monokultur atau hutan tanaman industri.

2.3       Intensifikasi masa bera
2.3.1    Dua cara intensifikasi
Semakin intensif penggunaan lahan, seperti pada pertanian tanaman pangan menetap, dapat meningkatkan produksi total per hektar jika dibandingkan dengan perladangan, tetapi penerimaan petani (return to labour) dapat lebih kecil. Intensifikasi menyebabkan degradasi lahan sebagaimana digambarkan oleh panah terputus. Sistem agroforestri atau sistem berbasis pohon dapat menjadi pilihan yang baik dimana produksi total per hektar tetap tinggi dengan pengelolaan tanaman tahunan berintensitas rendah.
2.3.2    Unsur hara
Petani menerapkan sistem perladangan dengan masa bera yang panjang untuk memproduksi tanaman pangan bagi kebutuhan harian mereka (subsistem). Sistem ini secara ekologi dinilai stabil dalam kondisi kepadatan penduduk rendah. Namun dewasa ini, pertambahan penduduk berlangsung cepat, permintaan pasar terhadap hasil pertanian meningkat, dan kebijakan pemerintah dalam pembangunan Intensifikasi masa bera lahan dan daerah pemukiman telah mengubah aktivitas perladangan menjadi lebih intensif. Perubahan ini menyebabkan ketidakseimbangan unsur hara karena hara mineral hilang selama masa pertanaman dan tidak dapat dipulihkan hanya dengan periode bera yang singkat.
Banyak petani masih menerapkan sistem tebas bakar untuk membersihkan lahan meskipun pemerintah telah mencanangkan program ‘zero burning’ yaitu pembersihan lahan tanpa menggunakan api atau pembakaran. Dari sebuah studi yang dilakukan di Sumatera, Ketterings dkk (1999) melaporkan bahwa keputusan petani untuk tetap melakukan proses pembakaran lahan disebabkan karena hal berikut:
1.      Merupakan cara yang paling efektif dan cepat dalam pembukaan lahan;
2.      Dapat menekan pertumbuhan gulma dan vegetasi liar lainnya, terutama pada siklus awal setelah penanaman tanaman pangan;
3.      Mengubah biomasa menjadi pupuk alami yang bermanfaat bagi tanaman dan tanah;
4.      Menggemburkan tanah, bibit tanaman menjadi cepat tumbuh; dan
5.      Merupakan cara yang efektif untuk membunuh hama dan patogen
2.3.3          Alang-alang pertanda intensifikasi berlebihan
Imperata cylindrica (‘alang-alang‘ atau ‘cogon grass’) adalah spesies yang dapat berkoloni dengan cepat di areal terbuka pada berbagai jenis tanah. Tumbuhan ini memiliki akar rimpang (rhizoma) yang sangat kuat dan tahan terhadap api meski telah melalui beberapa kali proses pembakaran. Proses pembakaran tidak dapat membunuh titik tumbuh imperata di permukaan tanah. Jika titik tumbuh mati, Imperata masih memiliki kemampuan beregenerasi dari tunas pada akar rimpang di dalam tanah dan kembali muncul di permukaan tanah sebelum tanaman lain tumbuh. Kemampuan beregenerasi yang sangat cepat ini membuat alang-alang tahan terhadap pengolahan tanah, kecuali jika pengolahan tanah dilakukan berulang, setelah dicangkul, dikeringkan, dan kembali dicangkul.
Imperata memiliki reputasi sebagai salah satu dari sepuluh gulma terburuk. Meski menutupi tanah, namun membuat tanah menjadi tererosi. Tanaman penutup tanah cepat tumbuh seperti Mucuna pruriens (legum) dapat menekan pertumbuhan Imperata pada fase awal lahan, namun tidak memberikan penaungan yang memadai untuk mengurangi kekuatan akar Imperata. Imperata dapat dikendalikan secara mekanis maupun kimiawi. Petani menggunakan herbisida, teknik olah tanah atau ‘penggilasan’, tergantung pada sumber daya dan dana yang dimiliki. Tanaman pangan semusim ditanam dalam beberapa tahun pertama setelah pembukaan lahan, disertai dengan penanaman tanaman tahunan sebagai sumber pendapatan dalam sistem agroforest dan membantu menekan pertumbuhan Imperata. Namun demikian, adanya celah antar tanaman pada sistem tumpang sari beresiko terhadap pertumbuhan Imperata dan mempermudah terjadinya kebakaran. Tumbuhnya Imperata pada suatu lahan berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon lain di sekitarnya. Meskipun mekanisme pengaruhnya masih menjadi bahan perdebatan dalam berbagai literatur, namun ada 4 kondisi yang telah diketahui, yaitu:
1.      Cahaya yang ditangkap oleh rumput dengan tinggi 1 – 2 m berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan pohon,
2.      Alang-alang memerlukan air dan hara (N, P, dan K) sehingga ketersediaan air dan hara untuk pohon menjadi berkurang. Konsentrasi N pada daun alang-alang rendah sehingga kompetisinya tidak terlalu kuat. Dekomposisi lanjutan dari daun dan akar alang-alang yang melibatkan mikroba sehingga tidak terjadi mobilisasi N dan akibatnya kesuburan tanah menjadi berkurang.
3.      Pada musim kemarau, lahan alang-alang memiliki resiko kebakaran tinggi karena biomasa kering di permukaan tanah yang merupakan bahan mudah terbakar saling bersambungan sehingga api mudah menyebar.
Alang-alang tahan terhadap api dan tumbuh dengan cepat setelah kebakaran sehingga dapat memanfaatkan semua unsur hara sebelum tanaman lain men-dapatkannya. Ketahanan pohon dan tanaman tahunan lainnya terhadap api tergantung dari ukuran pohon, ketinggian dari permukaan tanah dan ketebalan kulit kayu yang melindungi tunas samping. Selain itu, ketahanan pohon terhadap api juga ditentukan oleh kualitas api itu sendiri, seperti tinggi kobaran api, temperatur yang dicapai dan sebaran api yang mencapai tajuk pohon.
4.      Akar dan rimpang alang-alang melepaskan senyawa organic yang menghambat proses perkecambahan dan pertumbuhan awal berbagai jenis tanaman atau dikenal dengan istilah ‘alelopati’. Paska fase pertumbuhan tanaman lain, senyawa ini memperparah immobilisasi N pada tanah yang ditumbuhi alangalang. Pengkayaan tanah dengan Nitrogen dapat membantu mengatasi efek alelopati. Kebakaran, merupakan konsekuensi yang harus dibayar mahal ketika pada sistem agroforest ditumbuhi alang-alang. Satu kali kebakaran mampu menghapuskan investasi selama bertahun-tahun dari penanaman pohon. Oleh karena itu, pengendalian alang-alang merupakan syarat penting sebelum menanam pohon. Ada 4 jenis upaya pengendalian alang-alang yang dapat dilakukan antara lain:
1.      Cara Mekanis. Pengolahan tanah (pencangkulan) dapat mengangkat akar alang-alang ke atas tanah dan kemudian akar tersebut mengalami pengeringan oleh sinar matahari. Supaya lebih efektif, teknik olah tanah ini perlu dilakukan beberapa kali. Akar alang-alang masih mampu bertahan dengan teknik olah tanah yang dilakukan secara manual dengan cangkul maupun menggunakan tenaga kerbau, karena hanya mampu mencapai kedalaman tertentu. Sementara itu, teknik olah tanah dengan mesin mampu mencapai kedalaman yang dikehendaki.
2.      Herbisida. Jenis herbisida yang paling populer dan murah adalah glifosat, yang tersedia dalam beragam merek dagang.
3.      Penggilasan. Penggilasan biomasa tanah lambat laun memberikan efek yang baik untuk menekan pertumbuhan meskipun mekanismenya belum sepenuhnya dipahami. Teknik penggilasan ini dapat dipilih sesuai dengan kondisi di sekitar areal yang akan ditanami tanaman tahunan.
4.      Naungan. Naungan dapat mengurangi laju pertumbuhan alang-alang, apalagi jika dikombinasikan dengan pembuangan biomasa, maka secara bertahap dapat mengurangi kemampuan akar rimpang beregenerasi. Biomasa alang-alang menurun drastis bila intensitas cahaya yang mencapai lantai lahan hanya 20%. Namun, bila cahaya yang masuk ke lahan lebih dari 20%, alang-alang masih dapat tumbuh.
2.4       ‘Masa bera’ sebagai sumber pendapatan
Pertanian subsisten sudah semakin bergeser, sejalan dengan semakin tingginya kebutuhan para petani dan masyarakat di sekitar hutan  untuk melakukan transaksi ekonomi dengan dunia luar. Namun demikian, proses transisi menjadi sistem pasar yang betul-betul terintegrasi, berjalan secara bertahap, dimana mereka mulai menanam tanaman tahunan bernilai ekonomi seperti karet dan rotan dalam sistem pertanian tradisional. Awalnya, para peladang menanam padi hanya untuk kebutuhan konsumsi harian, bukan untuk dijual. Penanaman tanaman pangan ini lebih menunjukkan status sosial masyarakat dibandingkan dengan manfaat ekonomi yang diperoleh. Elmhirst (1997) menjelaskan kondisi di Desa Way Kanan, Lampung Utara yang berinteraksi dengan sebuah desa transmigrasi di dekatnya, dimana masyarakat dapat membeli padi dari transmigran tanpa diperhatikan oleh tetangganya. Di Kasepuhan, Jawa Barat, ladang atau huma memiliki peranan penting dalam menentukan status sosial masyarakat, dimana masyarakat yang tidak memiliki ladang dapat digolongkan sebagai masyarakat berstatus rendah
2.4.1    Pengelolaan lahan di masa bera
Bila sistem perladangan berubah menjadi sistem yang lebih intensif maka keseimbangan unsur hara dalam tanah cenderung menjadi negatif (Juo dan Manu 1996). Hal tersebut terjadi karena pembakaran, pemanenan, pencucian dan erosi. Oleh karena itu diperlukan sistem bera berikutnya yang dikelola secara lebih baik. Beberapa pilihan pengelolaan lahan bera dijelaskan dalam Cairns (2007) dan di beberapa literatur lain, termasuk penggunaan.



2.5              Ciri-ciri Perladangan
Ciri-ciri ladang berpindah adalah sebagai berikut :
1.      Ketergantungan petani yang tinggi terhadap lahan hutan
2.      Lahan ladang (hutan) dibuka dengan cara dibabat dan dibakar
3.      Peralatan yang digunakan masih sederhana, biasanya parang dan tugal
4.      Tidak ada pemeliharaan terhadap tanaman
5.      Lahan sempit, luasnya rata-rata tidak lebih dari 0,5 hektar
6.      Lahan hanya dipakai untuk waktu yang singkat dan kemudian dibiarkan untuk jangka waktu yang lama
Sistem pertanian primitive subsistence farming hanya terdapat pada daerah-daerah dengan penduduk yang masih jarang sekali. Oleh karena mayoritas pembukaan lading dilakukan dengan cara membakar, selain menimbulkan kebakaran hutan dan polusi asap, kegiatan ini akan merusak lapisan humus. Walaupun demikian, keutnungannya terdapat penambahan unsur potash dalam tanah. Tanah hutan biasanya dibuka 3 atau 2 minggu sebelum musim penghujan.
Sistem ladang berpindah ini dapat mengakibatkan dampak negative, diantaranya :
1.      Mengurangi luas hutan
2.      Kerusakan hutan
3.      Tanah menjadi tandus / lahan kritis
4.      Tanah mudah tererosi
5.      Kebakaran hutan
6.      Pencemaran udara
7.      Banjir

2.6              Masalah Perladangan dan Akibat yang Ditimbulkan
Pedidikan masyarakat hutan yang tergolong rendah dan sulitnya mencari mata pencaharian menyebabkan mereka memilih membuka ladang yang biayanya cukup murah dibandingkan dengan menanam atau menebang pohon karena pohon membutuhkan jangka tumbuh yang cukup panjang dan penjualan kayu terbilang sulit karena harus mempunyai izin penebangan. Perladangan liar  ini dapat merusak hutan karena jangka waktu rotasi perladangan yang dari waktu ke waktu semakin kecil menyebabkan tidak optimalnya regenerasi hutan.
Para ahli menyarankan bahwa regenerasi hutan sebaiknya dilakukan dalam periode 20 tahun. Selama peride tersebut, kondisi tanah secara alamiah dapat diperbaiki. Dengan kondisi sudah diregenerasi, tanah tersebut dapat dimanfaatkan lagi setelah masa regenerasi. Akan tetapi, sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, kebutuhan akan lahan garapan pun semakin mendesak. Tidak heran jika saat ini, periode regenerasi hutan dipersingkat menjadi 6 hingga 8 tahun bahkan kurang dari itu. Selain konsekuensi penurunan produktivitas tanah, perladangan liar juga mengakibatkan menurunnya luas hutan atau degradasi lahan hutan. Definisi degradasi agak bersifat subjektif  memiliki arti yang  berbeda tergantung pada suatu kelompok masyarakat. 
Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian mengatakan bahwa hutan yang  terdegradasi adalah hutan yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu  point/titik dimana penebangan kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang  menjadi tertunda atau terhambat semuanya.  Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi  ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi. Berkurangnya areal hutan diikuti pula dengan semakin gersangnya tanah, meluasnya populasi alang-alang, serta jenis rumput-rumputan lainnya yang sangat mudah terbakar di musim kemarau.
Masalah lainnya adalah masih banyak petani masih menerapkan sistem tebas bakar untuk membersihkan lahan di hutan meskipun pemerintah telah mencanangkan program ‘zero burning’ yaitu pembersihan lahan tanpa menggunakan api atau pembakaran. Dari sebuah studi yang dilakukan di Sumatera, dilaporkan bahwa keputusan petani untuk tetap melakukan proses pembakaran lahan disebabkan karena hal berikut:
1.      Merupakan cara yang paling efektif dan cepat dalam pembukaan lahan.
2.      Dapat menekan pertumbuhan gulma dan vegetasi liar lainnya, terutama pada siklus awal setelah penanaman tanaman pangan.
3.   Mengubah biomasa menjadi pupuk alami yang bermanfaat bagi tanaman dan tanah.
4.      Menggemburkan tanah, bibit tanaman menjadi cepat tumbuh.
5.      Merupakan cara yang efektif untuk membunuh hama dan pathogen.
            Akibat sistem tebas bakar inilah maka terjadi ketidakseimbangan unsur hara karena hara mineral hilang selama masa pertanaman dan tidak dapat dipulihkan hanya dalam waktu yang singkat. Permasalahan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) di negara berkembang juga semakin hangat diperdebatkan sejak masyarakat global paham akan emisi dan perubahan iklim global. Tidak dapat dipungkiri bahwa 20% emisi gas rumah kaca global terjadi karena pola penggunaan lahan dan perubahan yang terjadi di beberapa wilayah tropis. Para peladang dianggap  sebagai penyebab degradasi hutan. Muncul juga kehawatiran penerapan REDD dapat membatasi ruang gerak masyarakat terhadap sumber daya yang mereka miliki.
            Keterkaitan deforestasi, pembangunan dan kemiskinan sangat kompleks dan bersifat spesifik. Namun demikian, penggunaan api sebagai metoda pembersihan lahan disebut-sebut sebagai penyebab terjadinya deforestasi. Meski demikian, pada kenyataannya perubahan penggunaan lahan tanpa menggunakan api dapat menyebabkan hilangnya persediaan karbon dalam jumlah besar. Larangan penggunaan api dapat berdampak serius pada kehidupan masyarakat. Selain itu perladangan berpindah dan kebakaran memiliki korelasi yang positif, karena musim berladang umumnya pada musim kemarau.  Hasil penelitian menunjukan bahwa pada setiap musim kemarau terjadi kebakaran dimana-mana karena dipicuh oleh aktivitas perladangan.
 
1.      Dampak Perladangan Berpindah
Realitas memang menunjukan bahwa perladangan berpindah memiliki korelasi yang kuat dengan kerusakan ekosistem hutan, terutama pada pulau-pulau kecil dampaknya sangat signifikan. Beberapa dampak yang dapat dikemukakan adalah :
1.      Terjadi banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa hampir 100 % sungai yang terdapat pada pulau-pulau kecil mengalami penurunan debit air yang drastis, bahkan pada musim panas banyak sungai mengalami kekeringan. Selain itu pada musim hujan, selalu terjadi banjir dan erosi  yang mampu mengikis dan mengangkut ribuan ton tanah permukaan ke sungai dan laut sehingga terjadi pendangkalan sungai dan gangguan ekosistem laut.
2.      Terjadi penurunan drastis kesuburan tanah.  Kondisi di lapangan menunjukan bahwa bekas-bekas areal berladang telah menjadi semak belukar ataupun padang alang-alang. Pada pulau-pulau kecil dengan kondisi ekosistem yang miskin vegetasi atau lahannya terbuka maka ketika musim hujan,  banyak lapisan tanah permukaan yang terkikis dan hanyut, sehingga kondisi kesuburan tanah menjadi menurun. Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi kesuburan tanah secara umum pada daerah-daerah terbuka berbeda 40 – 60 % terhadap lahan hutan primer.
3.      Terjadi perubahan iklim dan yang paling drastis adalah kondisi iklim mikro dimana suhu meningkat rata-rata sebesar 1 – 3 oC dengan penurunan kelembaban relatif sebesar 5 – 10 %.  Selain itu dari  aspek iklim makro telah terjadi perubahan pola musim, dimana musim hujan dan musim panas sudah tidak konstan sesuai kalender musimnya.
4.      Terjadi gangguan habitat satwa, dimana lebih disebabkan oleh perubahan kondisi vegetasi sebagai akibat perladangan berpindah dan hal ini berpengaruh signifikan terhadap habitat satwa. Akibatnya ekosistem hutan yang sebelumnya merupakan tempat makan, minum, bermain dan tidur menjadi terganggu, sehingga satwa cendrung bermigrasi ke tempat lain, ataupun memilih tetap bertahan dengan kondisi cover yang terganggu.
5.      Terjadi penurunan biodiversitas, yang secara umum disebabkan perladangan yang dilakukan dengan cara tebang habis dan bakar sehingga banyak spesies langka atau endemik juga ikut musnah.  Sampai sejauh ini walaupun  belum diteliti dampak perladangan terhadap kepunahan spesies, namun dari pendekatan Indeks Shannon-Wienner  menunjukkan bahwa terjadi penurunan nilai keragaman spesies pohon sebesar 10 %  dibandingkan hutan primer yang berada disekitar lokasi penebangan.  Hal ini disebabkan beberapa spesies pohon toleran (kurang butuh cahaya) cenderung menghilang dari habitatnya sebagai akibat meningkatnya  intensitas cahaya.
6.      Terjadi peningkatan luas lahan Imperata cylindrica karena pembukaan hutan untuk aktivitas perladangan. Perladangan berpindah biasanya dengan menggunakan masa istirahat  lahan (masa bera) 10 – 20 tahun. Artinya selama periode waktu 10 – 20 tahun, lahan tersebut akan ditinggalkan dan dibiarkan membentuk hutan sekunder (Aong). Aong biasa didominasi oleh vegetasi berupa Macaranga spp dan terdapat juga beberapa spesies asli dari hutan yang dibuka pada awalnya. Setelah masa bera tersebut maka lahan yang sama akan dibuka kembali untuk berladang pada periode ke II.  Setelah periode ke II,  hutan sekunder (Aong) mulai sulit untuk terbentuk karena lahan mulai didominasi oleh alang-alang (Imperata cylindrica) sehingga secara umum jika sistem  pengulangan ini dilakukan sampai pada periode ke III biasanya lahan sudah didominasi alang-alang.
2.      Langkah-langkah  penanggulangan
Mengatasi berbagai dampak yang dikemukakan, maka berikut direkomendasikan beberapa langkah pengendalian, yaitu :
1.      Harus ada  kemauan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menangani permasalahan laju perladangan berpindah terlebih dahulu, agar dapat disusun perencanaan yang tepat dan terarah dalam rangka penanggulangannya. Karena apapun juga pemerintah telah diperhadapkan dengan realitas kondisi bahwa perladangan berpindah memiliki korelasi kuat dengan kerusakan ekosistem.
2.      Diperlukan regulasi berupa  peraturan daerah yang dapat mengatur  tentang pelaksanaan dan pengendalian laju peningkatan praktek perladangan. Hal ini sangat penting agar para peladang dapat memahami secara jelas tentang batasan-batasan  dan prosedur praktek perladangan yang menjamin kelestarian ekosistem. Selanjutnya sebagai konsekuensi dari adanya peraturan daerah berarti akan diatur pula sanksi-sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang mungkin terjadi sehingga praktek perladangan dapat dilakukan secara terkontrol,
3.      Pengembangan model agroforestry. Menurut teori bahwa perladangan berpindah hanya dapat diatasi dengan 3 model  utama, yaitu pengalihan profesi peladang, pengembangan model pertanian menetap dan  model agroforestry.  Berdasarkan ke 3 model ini, bila dikaji lebih jauh ternyata bahwa model pengalihan profesi tidak  berhasil karena persoalan  budaya.  Aktivitas berladang telah dianggap sebagai budaya yang diwariskan nenek moyang mereka.  Selain itu pertanian menetap juga sulit untuk diterapkan karena membutuhkan modal (input) yang besar bagi penerapannya.  Sementara itu model agroforestry nampaknya mudah dan sederhana untuk diaplikasi karena membutuhkan hanya sedikit modal, tetapi hutan yang akan terbentuk nanti selama masa bera adalah hutan yang  nanti memiliki nilai ekonomi dan konservasi yang tinggi.
4.      Diperlukan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia untuk mendukung aplikasi ke 3 model utama pengendalian perladangan diatas. Untuk itu pendidikan, training dan latihan bagi peladang untuk peningkatan pengetahuan dan ketrampilan sangat dibutuhkan bagi kerberhasilan pelaksanaan dari model yang ditawarkan nanti.
Perladangan berpindah dalam realitas telah menyebabkan kerusakan ekosistem hutan secara serius.  Hal ini berdasarkan kondisi di lapangan  bahwa  wilayah-wilayah hutan yang sebelumnya berada disekitar desa, saat ini  letaknya sudah mencapai radius lebih  7 Km.  Bahkan pada pulau-pulau kecil tertentu, sudah tidak dijumpai hutan. Kebanyakan hutan hanya dijumpai dalam bentuk spot-spot hutan sekunder. Karena itu pemerintah pusat maupun daerah sudah seharusnya mulai mengambil langkah-langkah pengendalian, agar generasi ini tidak mewarisi lahan yang tandus bagi generasi akan datang.
   Berkurangnya areal hutan diikuti pula dengan semakin gersangnya tanah, meluasnya populasi alang-alang, serta jenis rumput-rumputan lainnya yang sangat mudah terbakar di musim kemarau. Perladangan berpindah tanpa rotasi yang cukup dan melalui cara pembakaran lahan hutan akan mengakibatkan kerusakan keanekaragaman hayati serta sumberdaya tanah dan air (erosi, kesuburan tanah menurun, meningkatnya air permukaan, rusaknya habitat satwa, rusaknya habitat satwa, berubahnya ekosistem kawasan, pemadatan tanah), bencana lingkungan (banjir, longsor, kekeringan sumber air), perubahan iklim lokal (meningkatnya suhu, berkurangnya hujan, menurunnya kelembaban) serta pencemaran lingkungan.
   Bekas perladangan liar/areal terbuka ditandai dengan jenis-jenis vegetasi yang ada seperti alang-alang, sirih-sirihan, jenis Euphatorium dan Tremor. Salah satu salah bisa dilakukan untuk membuat lahan berpindah ini menjadi bisa layak kembali sebagai hutan adalah dengan merehabilitasi lahan tersebut dengan jenis pohon-pohon pionir setempat yang potensial untuk ditanam.
   Terdapat beberapa pendekatan untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery) :
a.       Pendekatan pertama adalah restorasi (restoration) yang didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan tersebutsebelumnya.
b.      Pendekatan kedua melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan dengan jenis asli dan jenis eksotik. Dalam hal ini tidak ada upaya untuk menrecreate ekosistem asli. Tujuannya hanyamengembalikan hutan pada kondisi stabil dan produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk jenis asli.
c.       Alternatif terakhir adalah reklamasi yang berarti penggunaan jenis-jenis eksotik untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan.
Dalam hal ini tidak ada sama sekali upaya perbaikan biodeversitas asli dari suatu areal yang terdegradasi. Akan tetapi, masih ada kegiatan ladang berpindah yang mendukung keseimbangan ekosistem. Salah satu contoh kegiatan sistem perladangan berpindah yang tidak merusak hutan adalah yang dilakukan oleh orang dayak di kalimantan memberikan sebuah contoh terbaik di dunia tentang hubungan antara kebudayaan dengan alam, yang tampaknya melestarikan kedua belah pihak. Seperti pada sistem mereka dalam bercocok tanam dengan sistem rotasi panjang.











III.           PENUTUP
3.1              Kesimpulan
Alasan dilakukannya perladangan berpindah adalah demi memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar hutan yang pendidikannya tergolong sehingga menyebabkan mereka memilih membuka ladang yang biayanya cukup murah. Akan tetapi, perladangan berpindah ini menyebabkan masalah yang merugikan hutan, manusia dan juga alam antara lain penurunan produktivitas tanah, perladangan liar juga mengakibatkan menurunnya luas hutan atau degradasi lahan hutan dan meningkatkan emisi global jika pembukaan lahan dilakukan dengan pembakaran. Cara yang dapat ditempuh jika sudah terjadi perladangan berpindah adalah dengan meregenerasi hutan dengan menanaminya tanaman pioneer sehingga hutan itu kembali produktif.

3.2              Saran
            Masalah perladangan berpindah perlu diperhatikan oleh pemerintah. Hutan yang terdegradasi akibat dijadikan areal ladang memang merupakan masalah serius, tetapi itu semua tak akan terjadi jika pemerintah menyediakan lahan khusus menanam tumbuhan produktif.  Pemerintah juga seharusnya memberikan pengetahuan kepada setiap masyarakat disekitar hutan tentang hak pemanfaatan hutan dan pertanian sehingga terlihat batas yang jelas dan tidak membingungkan masyarakat. 







DAFTAR PUSTAKA
Arkannuddin. 2008. Sistem Perladangan Orang Dayak. http://prof-arkan.blogspot.com/2012/04/sistem–perladangan–dan–kearifan_25.html. Diakses pada hari sabtu, 4 mei 2013

Kada, zefirinus. 2008. Kelestarian Hutan Indonesia. http://www.kabarindonesia.com/ beritaprint.php?id=20081003033818. Diakses pada hari sabtu, 4 mei 2013.

Sultan, Sudirman. 2012. Prosedur Perlindungan Hutan.
              http://pengamananhutan.blogspot.com/2012/05/kenali-prosedur-erlindungan-dan.htm. Diakses pada hari sabtu, 4 mei 2013.

Utomo, Budi. 2008. Rehabilitasi Hutan. USU e-Resipotory.Medan.