Kamis, 08 November 2012

Hakekat dan Tanggung Jawab Manusia-Khalifah

BAB I PENDAHULAN 1.1 Latar Belakang Manusia pada hakikatnya adalah makhluk ciptaan Allah SWT dan juga makhluk sosial. Dalam pandangan Islam, sebagai makhluk ciptaan Allah SWT manusia memiliki tugas tertentu dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini. Untuk menjalankan tugasnya manusia dikaruniakan akal dan pikiran oleh Allah SWT. Akal dan pikiran tersebut yang akan menuntun manusia dalam menjalankan perannya. Dalam perjalanan hidupnya peran manusia semakin terlupakan. Padahal dengan semua kelebihan yang dimilikinya manusia sudah selayaknya menjalankan peran dan tugasnya. Oleh karena itu, hakikat manusia yang sebenar-benarnya harus diresapi dengan baik agar manusia itu sendiri kembali pada tujuan asal mulanya dia diciptakan. Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah dimuka bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah. Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Akan tetapi hampir sebagian besar para ilmuwan berpendapat membantah bahwa manusia berawal dari sebuah evolusi dari seekor binatang sejenis kera, konsep-konsep tersebut hanya berkaitan dengan bidang studi biologi. Anggapan ini tentu sangat keliru sebab teori ini ternyata lebih dari sekadar konsep biologi. Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia. Dalam hal ini membuat kita para manusia kehilangan harkat dan martabat kita yang diciptakan sebagai mahluk yang sempurna dan paling mulia. Walaupun manusia berasal dari materi alam dan dari kehidupan yang terdapat di dalamnya, tetapi manusia berbeda dengan makhluk lainnya dengan perbedaan yang sangat besar karena adanya karunia Allah yang diberikan kepadanya yaitu akal dan pemahaman. Itulah sebab dari adanya penundukkan semua yang ada di alam ini untuk manusia, sebagai rahmat dan karunia dari Allah SWT. “Allah telah menundukkan bagi kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi semuanya.”(Q. S. Al-Jatsiyah: 13). “Allah telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar. Dia juga telah menundukkan bagi kalian malam dan siang.” (Q. S. Ibrahim: 33). “Allah telah menundukkan bahtera bagi kalian agar dapat berlayar di lautan atas kehendak-Nya.” (Q. S. Ibrahim: 32), dan ayat lainnya yang menjelaskan apa yang telah Allah karuniakan kepada manusia berupa nikmat akal dan pemahaman serta derivat (turunan) dari apa-apa yang telah Allah tundukkan bagi manusia itu sehingga mereka dapat memanfaatkannya sesuai dengan keinginan mereka, dengan berbagai cara yang mampu mereka lakukan. Kedudukan akal dalam Islam adalah merupakan suatu kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati. Dengan demikian, manusia adalah makhluk hidup. Di dalam diri manusia terdapat apa-apa yang terdapat di dalam makhluk hidup lainnya yang bersifat khsusus. Dia berkembang, bertambah besar, makan, istirahat, melahirkan dan berkembang biak, menjaga dan dapat membela dirinya, merasakan kekurangan dan membutuhkan yang lain sehingga berupaya untuk memenuhinya. Dia memiliki rasa kasih sayang dan cinta, rasa kebapaan dan sebagai anak, sebagaimana dia memiliki rasa takut dan aman, menyukai harta, menyukai kekuasaan dan kepemilikan, rasa benci dan rasa suka, merasa senang dan sedih dan sebagainya yang berupa perasaan-perasaan yang melahirkan rasa cinta. Hal itu juga telah menciptakan dorongan dalam diri manusia untuk melakukan pemuasan rasa cintanya itu dan memenuhi kebutuhannya sebagai akibat dari adanya potensi kehidupan yang terdapat dalam dirinya. Oleh karena itu manusia senantiasa berusaha mendapatkan apa yang sesuai dengan kebutuhannya,hal ini juga dialami oleh para mahluk-mahluk hidup lainnya, hanya saja, manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya dalam hal kesempurnaan tata cara untuk memperoleh benda-benda pemuas kebutuhannya dan juga tata cara untuk memuaskan kebutuhannya tersebut. Makhluk hidup lain melakukannya hanya berdasarkan naluri yang telah Allah ciptakan untuknya sementara manusia melakukannya berdasarkan akal dan pikiran yang telah Allah karuniakan kepadanya. Didalam Al-Qur`an proses penciptaan manusia memang tidak dijelaskan secara rinci, akan tetapi hakikat diciptakannya manusia menurut islam yakni sebagai mahluk yang diperintahkan untuk menjaga dan mengelola bumi. Hal ini tentu harus kita kaitkan dengan konsekuensi terhadap manusia yang diberikan suatu kesempurnaan berupa akal dan pikiran yang tidak pernah di miliki oleh mahluk-mahluk hidup yang lainnya. Manusia sebagai mahluk yang telah diberikan kesempurnaan haruslah mampu menempatkan dirinya sesuai dengan hakikat diciptakannya yakni sebagai penjaga atau pengelola bumi yang dalam hal ini disebut dengan khalifah. Status manusia sebagai khalifah, dinyatakan dalam Surat Al-Baqarah ayat 30. Kata khalifah berasal dari kata khalafa yakhlifu khilafatan atau khalifatan yang berarti meneruskan, sehingga kata khalifah dapat diartikan sebagai pemilih atau penerus ajaran Allah. Namun kebanyakan umat Islam menerjemahkan dengan pemimpin atau pengganti, yang biasanya dihubungkan dengan jabatan pimpinan umat islam sesudah Nabi Muhammad saw wafat, baik pimpinan yang termasuk khulafaurrasyidin maupun di masa Muawiyah-‘Abbasiah. Akan tetapi fungsi dari khalifah itu sendiri sesuai dengan yang telah diuraikan diatas sangatlah luas, yakni selain sebagai pemimpin manusia juga berfungsi sebagai penerus ajaran agama yang telah dilakukan oleh para pendahulunya,selain itu khalifah juga merupakan pemelihara ataupun penjaga bumi ini dari kerusakan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas timbul beberapa masalah, diantaranya : 1. Bagaimana hakikat masusia menurut pandangan Islam? 2. Apa fungsi dan tanggung jawab manusia dalam islam? 3. Apa kelebihan manusia dari makhluk lainya? 1.3 Tujuan Menjelaskan hakikat dan tanggung jawab manusia menurut pandangan islam dalam BAB II PEMBAHASAN 2.1 Hakekat Manusia dalam Pandangan Islam Dalam Islam, hakekat manusia adalah perpaduan antara badan dan ruh. Keduanya masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri dan tidak saling bergantung satu sama lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua substansi tersebut adalah substansi alam, sedangkan alam adalah makhluk, maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dari ayat al- Qur’an surat Al-Mukminun : 12 – 14 yang menggambarkan sebuah proses kejadian manusia, yang artinya : “Dan sesungguhnya kami ciptakan manusia dari saripati tanah. Kemudian Kami jadikan dari tanah itu air mani (terletak) dalam tempat simpanan yang teguh (rahim). Kemudian dari air mani itu Kami ciptakan segumpal darah lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging dan dari segumpal daging itu Kami ciptakan tulang belulang. Kemudian tulang belulang itu kamu tutup (balut) dengan daging. Sesudah itu Kami jadikan dia makhluk yang baru yakni manusia sempurna. Maka Maha Suci Allah pencipta yang laing baik”. (Al-Mukminun : 12 – 14). Kemudian Nabi Muhammad SAW., mengulas ayat suci tersebut dengan sabdanya : “Bahwasanya seseorang kamu dihimpun kejadiannya di dalam perut ibu selama 40 hari, kemudian merupakan alaqah (segumpal darah) seumpama demikian (selama 40 hari), kemudian mudgatan (segumpal daging) seumpama demikian (selama 40 hari). Kemudian Allah mengutus seorang Malaikat maka diperintahkan kepadanya (Malaikat) empat perkataan dan dikatakan kepada Malaikat “engkau tulislah amalannya, dan rezekinya dan ajalnya, dan celaka atau bahagianya”. Kemudian ditiupkan kepada makhluk itu ruh...” (H.R. Bukhari). Dari al-Qur’an dan al-Hadits tersebut di atas, jelaslah bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan fisik manusia, tidak ada bedanya dengan proses perkembangan dan pertumbuhan pada hewan. Semuanya berproses menurut hukum-ukum alam yang material. Hanya saja pada kejadian manusia, sebelum makhluk yang dinamakan manusia itu lahir dari rahim ibunya, Tuhan telah meniupkan ruh ciptaan-Nya ke dalam tubuh manusia. Ruh yang berasal dari Alaah SWT itulah yang dinamakan hakekat manusia. Inilah yang membedakan manusia dengan hewan, karena Allah SWT tidak meniupkan ruh pada hewan. Hakekat manusia secara umum dijelaskan oleh ayat al-Qur’an yang pertama sekali turun, yang artinya : “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan, menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah. Mengajar manusia yang tidak tahu (jangan sekali-kali demikian. Bahkan sesungguhnya manusia itu bersikap dzalim. Apabila ia merasa terkaya (dari Tuhan dalam ajaran-Nya). Sesungguhnya kepada Tuhanlah kamu akan kembali”. (Q.S. Al-Alaq : 1 – 8). Menurut Prof. DR. Omar Muhammad Al-Toumy Al- Syabanya,4 terdapat beberapa prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap manusia dalam bukunya “Falsafah Pendidikan Islam” yaitu : Prinsip Pertama, Keyakinan bahwa manusia adalah makhluk termulia di dalam jagat ini. Dalam hal ini Allah telah memberikan karunia-Nya berupa keutamaan yang membedakannya dengan makhluk lain. Dengan karunia tersebut manusia berhak mendapat penghormatan dari makhluk-makhluk lain. Seperti yang difirmankan-Nya dalam al-Qur’an surat An-Nahl : 14 yang artinya : “Dan Dialah Allah yang menudukkan lautan (untukmu) agar dapat memakan dari padanya daging yang segar (ikan) dan kamu mengeluarkan dari laut dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”. (Q.S. An-Nahl : 14). Prinsip kedua, kepercayaan akan kemuliaan dan keutamaan manusia. Manusia diberikan keutmaan lebih daripada makhluk lainnya. Manusia “dilantik” menjadi khalifah di bumi untuk memakmurkan bumi ini. Untuk itu, dibebankan kepada manusia amanah attaklif dan diberikan pula kebebasan dan tanggung jawab memiliki serta memelihara nilai-nilai keutamaan. Keutamaan yang diberikan karena bangsanya, bukan juga karena warna, kecantikan, perawakan, harta, daerajat, jenis profesi, kasta sosial, dan ekonominya, melainkan semata-mata karena iman, taqwa, akhlak, ketinggian akal, dan amalnya. Juga karena keahlian mencipta serta kemampuan melaksanakan kerja-kerja akal dalam berbagai bidang. Karena daya mencipta nama dan istilah-istilah baru pada zamannya. Karena kemampuan menguasai naluri dan nafsu. Manusia mampu membantu dan berkreasi. Karena manusia sanggup memikul tanggung jawab diri dan masyarakat. Karena ia dapat menggunakan pengetahuannya serta kepandaiannya, manusia dapat meningkatkan akhlak serta kelompok sosialnya. Secara singkat, manusia diberikan status demikian dikarenakan ciri dan sifat utama yang dikaruniakan Allah kepadanya, ciri-ciri tersebut tidak diberikan kepada makhluk-makhluk lain. Karunia tersebut berupa penciptaan-Nya sebaik-baiknya dan seindah ciptaan. Malaikatpun diperintahkan sujud dan menghormatinya. Manusia dijadikan khalifah di bumi dengan tugas memakmurkannya. Manusia dibebankan dengan tanggung jawab, diberikan kebebasan memilih, dan merekam alam walaupun dengan kondisi fisik yang relatif kecil dan tenaganya terbatas jika dibandingkan dengan langit, bumi, dan gunung-gunung yang enggan memikul amanah itu. Apapun yang diciptakan oleh Allah adalah untuk manusia. Prinsip Ketiga, kepercayaan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir. Bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang berbahasa, dapat menggunakan bahasa sebagai media berpikir dan berhubungan. Manusia mampu mencipta istilah dan menamakan sesuatu untuk dikenal. Ia mampu berpikir wajar, dapat menjadikan alam sebagai objek pengaatan, dan arena tempat menimbulkan perubahan yang diinginkan. Manusia dapat mempelajari ilmu pengetahuan, kemahiran, dan kecenderungan baru. Ia bisa beriman kepada yang ghaib, membedakan antara yang baik dan buruk, serta dapat menahan nafsu syahwatnya yang liar. Ia bisa menembus realitas untuk mencapai cita-citanya yang ideal. Ia mampu membina hubungan sosial dengan orang lain; hidup bermasyarakat, menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang bermacam-macam tingkatannya. Ia berdaya untuk bekerja, memproduksi, membina peradaban, dan menempa kemajuan. Ia pula dapat menyingkapkan rahasia fenomena alam dan membentuk fenomena tersebut sesuai dengan idealismenya. Lebih jauh lagi ia bisa menguasai sumber kekuasaan alam. Prinsip keempat, kepercayaan bahwa manusia memiliki tiga dimensi yaitu badan, akal, dan ruh. Kepercayaan bahwa manusia memiliki tiga dimensi seperti “segi tiga” yang sama panjang sisi-sisinya. Ini adalah dimensi pokok dalam kepribadian manusia. Kemajuan, kebahagiaan dan kesempurnaan kepribadian manusia banyak bergantung kepada kekselarasan dan keharmonisan antara ketiga dimensi pokok tersebut. Sebagai agama fitrah, agama agama yang seimbang dan moderat dalam serba-serbi, Islam tidaklah hanya mengakui saja wujud tiga dimensi pokok tersebut dalam watak manusia, melainkan Islam bertindak meneguhkan dan memantapkan lagi bentuk wujudnya. Karena manusia menurut Islam bukan hanya institusi tubuhnya, atau hanya akal atau hanya ruh tetapi keseluruhan semua yang setiap unsurnya saling melengkapi. Islam tidak dapat menerima materialisme yang tersisih dari ruh, atau sebaliknya spiritualisme yang terpisah dari materi. Materi tidak mutlak buruk menurut Islam, sebaliknya spiritualisme tidak mutlak baik. Yang diakui oleh Islam adalah persenyawaan yang harmonis antara materi dan ruh. Menurut Islam, baik golongan spiritual maupun golongan material masing-masing menzalimi kemanusiaannya; karena bertentangan dengan tuntutan hidup. Islam tidak dapat membenarkan akal merajalela atau ilmu-ilmu ansich yang menguasai kehidupan tanpa kendali, atau berkembang faham kebendaan yang sempit. Islam berpendapat bahwa manusia hanya akan maju dengan adanya iringan akal dan ruh atau ilmu dan iman. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya Q.S. Al-Qashash : 77) yang artinya : “Tuntutan kehidupan akhirat dengan apa yang dikaruniakan oleh Allah kepadamu dan jangan lupa bagian duniamu”. Dan dalam surat al-A’raf : “Katakanlah siapa yang mengharapkan perhiasan Allah yang dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki-rezeki yang baik ?” (Q.S. Al-A’raf) : 32). Dalam konteks kebutuhan manusia kepada benda, Rasulullah bersabda: “Badanmu punya hak tertentu atasmu”. Kemudian Beliau mengatakan lagi : “Sesungguhnya Tuhanmu punya hak atas kamu, dirimu punya hak atas kamu, keluargamu ada hak atas dirimu maka berikanlah yang berhak atas haknya”. Menurut Islam, dunia adalah ladang tanaman untuk mendapatkan hasilnya di akhirat. Dan manusia khalifah Allah di bumi. Tujuan kegiatan ekonomi adalah untuk memakmurkan dunia. Jika Allah menciptakan manusia tanpa naluri dan syahwat, maka akan pupuslah manusia dan jika manusia diciptakan tanpa akal maka akan hancurlah manusia. Jika manusia diciptakan tanpa kebebasan maka jadilaah ibadahnya sebagai sesuatu yang terpaksa dan hilanglah arti ibadahnya. Manusia pada dasarnya memerlukan keimanan kepada zat yang tertinggi dan maha unggul dari dirinya. Karena secara naluri, kebutuhan manusia akan agama telah ada semenjak lahir, di mana ia membutuhkan suatu kepastian, ketentraman dan kebahagian. Naluri tersebut ada, tumbuh, dan berkembang karena didasari pada pertanyaan-pertanyaan itulah yang menggugah akal untuk berpikir dan mencari jawaban. Kehausan manusia pada ilmu pengetahuan, pencarian jawaban terhadap jagat raya, kesemuanya itu tidak mampu dilakukan oleh manusia tanpa merujuk pada iman, akidah dan wahyu. Semua itu membuktikan bahwa pada jiwa manusia memang terukir watak dan naluri agama. Pada hakekatnya, manusia di samping memiliki kecenderungan beragama ia juga mempunyai kecenderungan berakhlak. Ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pikirannya mampu menjangkau cara untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Karenanya, manusia didefinisikan sebagai hewan yang memiliki kecenderungan berakal. Prinsip Kelima, kepercayaan bahwa manusia dalam pertumbuhannya terpengaruh oleh faktor-faktor warisan dan alam lingkungannya. Meyakini bahwa manusia dengan seluruh perwatakannya dan ciri pertumbuhannya adalah hasil pencapaian dua faktor, yaitu faktor warisan dan lingkungan. Dua faktor tersebut mempengaruhi dan berinteraksi dengan manusia sejak manuisa masih merupakan embrio hingga akhir hayatnya. Meskipun tingkat dan kadar pengaruh keturunan dan lingkungan terhadap masing-masing manusia berbedabeda. Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah ruang lingkup luar yang berinteraksi dengan manusia yang menjadi lahan dan beragam bentuk kegiatannya. Dan yang dimaksud dengan keturunan di sini adalah ciri dan sifat yang diwarisi dari keturunannya dengan kadar yang berlainan. Meskipun demikian, betapapun faktor keturunan bukanlah merupakan sesuatu yang kaku hingga tidak bisa dipengaruhi. Bahkan terdapat kemungkinan bahwa faktor keturunan ini dapat dilenturkan sampai batas tertentu. Prinsip Keenam, kepercayaan bahwa manusia memiliki motivasi dan kebutuhan. Bahwa sebagai makhluk berakal, manusia mempunyai kecenderungan, memotivasi, dan kebutuhan baik yang diwarisi maupun yang diperoleh melalui interaksi sosialnya. Salah satu ciri manusia adalah daya kontrol. Kontrol itulah yang menghindarkan diri manusia dari penyelewengan oleh dorongan jiwanya. Telah menjadi ketentuan Allah bahwa manusia mendidik dan mengasuh anaknya untuk menumbuhkan daya kendalinya (kontrol). Islam mengakui seluruh unsur dan ciri-ciri yang dikandung oleh kepribadian manusia, tiap unsur dan ciri itu punya peranannya tertentu. Allah membekali semuanya itu bagi manusia agar dapat hidup, memelihara diri dan keturunannya di bumi, di samping memakmurkan alam yang telah diserahkan Allah kepadanya. Prinsip Ketujuh, kepercayaan akan adanya perbedaan antar manusia. Menyadari bahwa manusia meskipun dalam beberapa ciri dan sifat terdapat persamaan karena hubungan kemanusiaan, memiliki perbedaan dalam banyak hal. Hal ini lebih dikarenakan faktor keturunan dan lingkungan yang mempengaruhi. Manusia berbeda dengan dalam tenaga, perawakan, kesediaan, sikap, dorongan, tujuan, dan jalan-jalan yang dilaluinya untuk mencapai tujuan. Perbedaan-perbedaan itulah yang dinamakan perbedaan perseorangan. Jika dinalisis lebih jauh, maka sesungguhnya manusia terdiri dari tiga anasir yang saling terkait, yaitu akal, hati, dan emosi. Jika manusia mampu mengekplorasi ketiganya dengan benar, maka manusia tersebut akan mendapatkan keluasan wacana, keluasan cakrawala, dan kekayaan hati. Karena akal membawa manusia pada pemecahan rahasia-rahasia alam. Teras dan emosi ini ialah iman kepada Allah SWT. Akal manusia secara alamiah akan membawa pada satu titik keimanan di mana keimanan merupakan suatu keharusan. Iman memberikan interpretasi tentang peraturan yang harmonis yang dapat disaksikan dalam alam semesta. Iman merupakan keseimbangan wujud yang amat menakjubkan. Persoalan keimanan masih merupakan misteri dan tanda tanya besar bagi keterbatasan akal manusia. Dan emosi merupakan bagian yang penting lainnya dari aspek emosi keagamaan ini. Dengan emosi, manusia akan dibawa pada keadaan untuk memenangkan kebenaran tersebut. Inti dari semangat dan intuisi ini adalah cinta kebaikan, rasa kasih sayang, dan bertujuan membahagiakan seluruh umat manusia. Prinsip Kedelapan, kepercayaan bahwa manusia memiliki keluwesan dan selalu berubah. Meyakini bahwa sifat manusia ialah luwes, lentur (fleksibel), dapat dilenturkan, dibentuk, dan diubah. Ia mampu untuk menguasai ilmu pengetahuan, beradaptasi dengan adat-adat, nilai, tendensi, atau aliran baru. Atau sebaliknya, ia dapat meninggalkan adat, nilai, dan aliran lama dengan cara interaksi sosial baik dengan lingkungan yang bersifat alam maupun kebudayaan. Jadi jelaslah, bahwa perbedaan manusia dan hewan bukan hanya pada derajat komplikasinya tetapi juga terletak ada perbedaan jenis. Meskipun pada proses perkembangan dan pertumbuhan antara manusia dan hewan tidak berbeda. Hanya, ketka manusia akan dilahirkan, Tuhan telah meniupkan ruh ciptaan-Nya. Dijadikan manusia oleh Allah sebagai khalifah. Khalifah berarti kuasa atau wakil. Dengan demikian pada hakekatnya manusia adalah kuasa atau wakil Allah di bumi. Dan di dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ketuhanan, karena dalam proses penciptaannya telah ditiupkan ruh dari Tuhan. Unsur-unsur ketuhanan itulah yang membawa manusia pada perbuatan-perbuatan untuk merealisasikan potensi-potensi yang ada ke dalam tingkah laku keseharian dan perbuatan nyata. Dari sudut pandang psikologi, pandangan tentang hakikat manusia mengarah pada sifat-sifat manusia (human nature), yaitu sifat-sifat khas (karakteristik) segenap umat manusia (Chaplin, 1997: 231). Hakekat manusia yang dimaksud dalam kajian ini ialah sesuatu yang esensial dan merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk yang dapat menjadikan manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Para pemikir Islam seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd (Muhaimin & Mujib, 1993) menyatakan bahwa manusia merupakan rangkaian utuh antara dua unsur, yaitu unsur yang bersifat materi (jasmani) dan unsur yang bersifat immateri (rohani). Pernyataan bahwa manusia merupakan rangkaian utuh antara dua unsur mengan-dung makna bahwa unsur-unsur tersebut merupakan satu totalitas yang tidak bisa dipisah-pisahkan, atau dengan kata lain tidak bisa dikatakan sebagai manusia jika salah satu diantara dua unsur tersebut tidak ada. Namun pembahasan ini hanya difokuskan pada unsur immateri (rohani) saja. Istilah yang sering disebut dalam Alquran untuk menggambarkan unsur manu-sia yang bersifat rohani adalah ruh dan nafs. Ruh Dalam surah al-Hijr ayat 28-29 Allah berfirman : إٔر ق بل سث ك ن ه هً ئ كخ ا يَ خبن ق ث ششا يٍ ص ه صبل يٍ د ئً ي سٌُٕ . ف برا س يٕ زّ فَٔخذ ف يّ يٍ س دٔي ف ق ع إنّ سبجذيٍ Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. Sebagaimana yang digambarkan dalam ayat di atas, ruh adalah unsur terakhir yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia, dengan demikian dapat diambil pemaha-man bahwa ruh adalah unsur yang sangat penting karena merupakan unsur terakhir yang menyempurnakan proses penciptaan manusia. Ruh juga dikatakan sebagai bagian unsur yang mulia, hal ini tersirat dari perintah Allah kepada para malaikat (termasuk pula iblis) untuk sujud kepada manusia sebagai tanda penghormatan setelah dimasuk-kannya unsur ruh. Nafs Ruh dan nafs hakikatnya sama, diberi istilah yang berbeda adalah untuk membedakan sifat dan fungsinya masing-masing. Menurut Amjad (1992), istilah ruh hanya digunakan untuk menunjukkan unsur rohani manusia pada tingkatan yang lebih tinggi dari nafs, ruh dipandang sebagai dimensi khas insani yang merupakan sarana gaib untuk menerima petunjuk dan bimbingan Tuhan, serta mempunyai kesadaran tentang adanya Tuhan, sedangkan istilah nafs digunakan untuk menggambarkan unsur rohani manusia yang mengandung kualitas-kualitas insaniyah atau kemanusiaan. Dalam Alquran ditemukan tiga buah istilah yang dikaitkan dengan kata nafs, yaitu al-nafs al-mutma‟innah seperti yang terdapat dalam surah al-Fajr ayat 27, al-nafs al-lawwamah seperti yang terdapat dalam surah al-Qiyaamah ayat 2, dan al-nafs laammaratun bi al-su‟ seperti yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 53. Ketiga buah istilah yang dikaitkan dengan kata nafs tersebut menyiratkan adanya tiga buah pembagian kualitas unsur rohani yang terdapat pada manusia. Al-nafs al-mutma‟innah secara etimologi berarti jiwa yang tenang, dinamakan jiwa yang tenang karena dimensi jiwa ini selalu berusaha untuk meninggalkan sifat-sifat tercela dan menumbuhkan sifat-sifat yang baik sehingga memperoleh ketenangan. Dimensi jiwa ini secara umum dinamakan qalb atau hati (Ahmad, 1992; Mujib, 1999). Al-nafs al-lawwamah secara literlik berarti jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri, maksudnya bila ia telah berbuat kejahatan maka ia menyesal telah melakukan perbuatan tersebut, dan bila ia berbuat kebaikan maka ia juga menyesal kenapa tidak berbuat lebih banyak (Departemen Agama RI, 1978; Surin, 1978). Dimensi jiwa ini dinamakan oleh para filosof Islam sebagai „aql atau akal (Ahmad, 1992; Mujib, 1999).Al-nafs laammaratun bi al-su‟ secara harfiah berarti jiwa yang memerintah kepada kejahatan, yaitu aspek jiwa yang menggerakkan manusia untuk berbuat jahat dan selalu mengejar kenikmatan. Menurut para kaum sufi, dimensi jiwa ini dinamakan sebagai hawa atau nafsu (Sudewo, 1968; Ahmad, 1992; dan Mujib, 1999). Ahmad (1992) menyebutkan, meskipun unsur rohani manusia yang diistilah-kan dengan nafs disebut dengan tiga buah istilah yang berbeda-berbeda sehingga seolah-olah ketiganya berdiri sendiri-sendiri, namun hakikat ketiganya merupakan satu kesatuan. Ketiga buah istilah tersebut menggambarkan bahwa secara garis besar terdapat tiga buah fungsi dan sifat yang dimainkan oleh unsur rohani manusia. Senada dengan pendapat Ahmad yang menyimpulkan bahwa unsur rohani manusia hakikatnya satu, Arifin menyatakan: Dinamai ruh (jiwa), atau nafs (nyawa) dalam fungsinya menghidupkan, me-numbuhkan dan memperkembangbiakkan. Dinamai akal dalam fungsinya memikir (menyelidiki), mencari sebab akibat, mengingat dan menghayal. Dinamai hati atau kalbu dalam fungsinya merasa .… dinamai nafsu dalam fungsinya berkeinginan, berkehendak, berkemauan (Arifin, 1994: 37). Dari pendapat beberapa ulama dan sarjana muslim di atas, dapat diambil simpulan bahwa meskipun Alquran menggunakan istilah yang berbeda-beda dalam menggambarkan unsur rohani manusia, yaitu ruh dan nafs, namun unsur-unsur rohani tersebut hakikatnya satu, disebut dengan istilah yang berbeda adalah untuk membe-dakan sifat-sifat rohani manusia. Keberadaan unsur rohani tersebut menyebabkan ma-nusia dapat hidup dan bergerak, berpikir, merasa dan menyadari keberadaan dirinya, bahkan menyadari akan keberadaan sesuatu yang menciptakan dirinya, yaitu Tuhan. 2.2 Fungsi dan Tanggung Jawab Manusia dalam Pandangan Islam Allah SWT dengan kehendak kebijaksanaan-Nya telah mencipta makhluk- makhluk yang di tempatkan di alam penciptaan-Nya. Manusia di antara makhluk Allah dan menjadi hamba Allah SWT. Sebagai hamba Allah tanggungjawab manusia adalah amat luas di dalam kehidupannya, meliputi semua keadaan dan tugas yang ditentukan kepadanya. Tanggungjawab manusia secara umum digambarkan oleh Rasulullah SAW di dalam hadis berikut. Dari Ibnu Umar R.a. katanya; “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda yang bersabda: “Semua orang dari engkau sekalian adalah pengembala dan dipertanggungjawabkan terhadap apa yang digembalainya. Seorang laki-laki adalah pengembala dalam keluarganya dan akan ditanya tentang pengembalaannya. Seorang isteri adalah pengembala di rumah suaminya dan akan ditanya tentang pengembalaannya.Seorang khadam juga pengembala dalam harta tuannya dan akan ditanya tentang pengembalaannya. Maka semua orang dari kamu sekalian adalah pengembala dan akan ditanya tentang pengembalaannya.” (Muttafaq alaih) Allah menciptakan manusia ada tujuan-tujuannya yang tertentu. Manusia dicipta untuk dikembalikan semula kepada Allah dan setiap manusia akan ditanya atas setiap usaha dan amal yang dilakukan selama ia hidup di dunia. Apabila pengakuan terhadap kenyataan dan hakikat wujudnya hari pembalasan telah dibuat maka tugas yang diwajibkan ke atas dirinya perlu dilaksanakan. 2.3 Kelebihan Manusia dari Makhluk Lainnya Manusia dibandingkan makhluk lain mempunyai berbagai ciri utama, yaitu: 1. Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang paling baik, ciptaan Allah yang paling sempurna. Firman Allah: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,” (QS. At-Tin: 4) Keunikan manusia dapat terlihat pada bentuk struktur tubuhnya, gejala-gejala yang ditimbulkan jiwanya, mekanisme yang terjadi pada setiap organ tubuhnya, proses pertumbuhannya melalui tahapan tertentu, dan sebagainya. Hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya, ketergantungannya pada sesuatu, menunjukkan adanya kekuasaan yang berada diluar manusia itu sendiri. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah karena itu sepantasnya menyadari kelemahannya. Kelemahan manusia berupa sifat yang melekat ada dirinya disebutkan Allah dalam Al-Quran, diantaranya adalah: a. Melampaui batas (QS. Yunus : 12) b. Zalim dan mengingkari karunia Allah (QS. Ibrahim : 34) c. Tergesa-gesa (QS. Al-Isra‟: 11) d. Suka membantah (QS. Al-Kahfi : 54) e. Berkeluh kesah dan kikir (QS. Al-Ma‟arij: 19-21) f. Ingkar dan tidak berterima kasih (QS. Al-Adiyat : ^) Namun untuk kepentingan dirinya manusia ia harus senantiasa berhubungan dengan penciptanya, dengan sesama manusia, dengan dirinya sendiri, dan dengan alam sekitarnya. 2. Manusia memiliki potensi beriman kepada Allah. Sebab sebelum ruh Allah dipertemukan dengan jasad di rahim ibunya, ruh yang di alam ghaib itu ditanyai Allah, sebagaimana dalam Al-Quran: “Apakah kalian mengakui Aku sebagai Tuhan kalian? (para ruh itu menjawab)” ya kami akui Engkau adalah Tuhan kami”. (QS. Al-„Araf :172) Dengan pengakuan tersebut sesungguhnya manusia sejak awal telah maengakui Tuhan, telah ber-Tuhan, berke-Tuhanan. Pengakuan dan penyaksian bahwa Allah adalah Tuhan tuh yang ditiupkan ke dalam rahim wanita yang sedang mengandung manusia itu berarti bahwa manusia mengakui adanya kekuasaan Tuhan, termasuk kekuasaan Tuhan menciptakan agama untuk pedoman hidup manusia di dunia ini. Ini bermakna pula bahwa secara potensial manusia percaya atau beriman kepada ajaran agama yang diciptakan Allah yang Maha Kuasa. 3. Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya dalam Al-Quran surat az-Zariyat: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56) Mengabdi kepada Allah dapat dilakukan manusia melalui dua jalur, jalur khusus dan jalur umum. Pengabdian melalui jalur khusus diaksanakan dengan melakukan ibadah khusus yaitu segala upacara pengabdia langsung kepada Allah yang syarat-syaratnya, dan cara-caranya telah ditentukan oleh Allah sendiri sedang rinciannya dijelaskan oleh Rasul-Nya, seperti ibadah shalat, zakat, shaum, dan haji. Pengabdian melalui jalur umum dapat dilakukan dengan melakukan perbuatan yang disebut amal saleh yaitu segala perbuatan positif yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat, dilandasi dengan niat ikhlas dan bertujuan untuk mencari keridaan Allah. 4. Manusia dilengkapi dengan akal perasaan dan kemauan atau kehendak. Dengan akal dan kehendaknya manusia akana tunduk dan patuh kepada Allah, menjadi muslim. Tetapi dengan akal dan kehendaknya juga manusia dapat tidak percaya, tidak tunduk dan tidak patuh kepada kehendak Allah, bahkan mengingkari-Nya, menajdi kafir. Karena itu di dalam Al-Quran ditegaskan oleh Allah: “Dan katakana bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Barangsiapa yang mau beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang tidak ingin beriman, biarlah ia kafir.” (QS. Al-Kahfi: 29) Dalam surat Al-Insan juga dijelaskan: “Sesungguhnya kami telah menunjukinya jalan yang lurus (kepada manusia), ada manusia yang syukur, ada pula manusia yang kafir”. (QS. Al-Insan: 3) Allah telah menunjukkan jalan kepada manusa dan manusia dapat menjalani jalan itu dan dapat pula tidak mengikutinya. Memang dengan kemampuanya atau kehendaknya yang bebas manusia dapat memilih jalan yang akan ditempuhnya. Namun dengan pilihannya itu manusia kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat, yaitu pada hari perhitungan mengenai segala amal perbuatan manusia ketika masih di dunia. Secara individual manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam Al-Quran: “Setiap orang terikat (bertanggung jawab atas apa yg dilakuannya.” (QS. St-Thur: 21) 5. Manusia memiliki akhlaq. Berakhlaq adalah ciri utama mausia dibandngkan makhluk lain. Artinya manusia adalah makhluk yang diberikan Allah kemampuan untuk membedakan yang baik dengan yang buruk. Dalam Islam kedudukan akhlak sangat penting, ia menjadi komponen ketiga dalam Islam. Kedudukan ini dapat dilihat di dalam sunnah Nabi yang mengatakan bahwa beliau diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak manusia yang mulia. Suri tauladan Nabi yang dlakukan semasa hidupnya seharusnya menjadi contoh bagi umat manusia terutama manusia yang beriman. Selain dari keteladanan Rasulullah, banyak butir-butir tuntunan menuju akhlak mulia itu terdapat di dalam Al-Quran dan AlHadits. 2.4 Hakekat dan Tanggung Jawab Manusia sebagai Khalifah Tanggungjawab Abdullah terhadap dirinya adalah memelihara iman yang dimiliki dan bersifat fluktuatif ( naik-turun ), yang dalam istilah hadist Nabi SAW dikatakan: “yazidu wayanqusu” (terkadang bertambah atau menguat dan terkadang berkurang atau melemah). Tanggung jawab terhadap keluarga merupakan lanjutan dari tanggungjawab terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, dalam al-Qur’an dinyatakan dengan quu anfusakum waahliikum naaran (jagalah dirimu dan keluargamu, dengan iman dari neraka). Allah dengan ajaranNya Al-Qur’an menurut sunah rosul, memerintahkan hambaNya atau Abdullah untuk berlaku adil dan ikhsan. Oleh karena itu, tanggung jawab hamba Allah adlah menegakkan keadilanl, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan berpedoman dengan ajaran Allah, seorang hamba berupaya mencegah kekejian moral dan kenungkaran yang mengancam diri dan keluarganya. Oleh karena itu, Abdullah harus senantiasa melaksanakan solat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian dan kemungkaran (Fakhsyaa’iwalmunkar). Hamba-hamba Allah sebagai bagian dari ummah yang senantiasa berbuat kebajikan juga diperintah untuk mengajak yang lain berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran (Al-Imran : 2: 103). Demikianlah tanggung jawab hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh terhadap ajaran Allah menurut Sunnah Rasul. Manusia diserahi tugas hidup yang merupakan amanat Allah dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan , wakil Allah di muka bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan alam. Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya. Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang berupa kebebasan memilih dan menentukan, sehingga kebebasannya melahirkan kreatifitas yang dinamis. Kebebasan manusia sebagai khalifah bertumpu pada landasan tauhidullah, sehingga kebebasan yang dimilikitidak menjadikan manusia bertindak sewenang-wenang. Kekuasaan manusia sebagai wakil Tuhan dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hokum-hukum Tuhan baik yang baik yang tertulis dalam kitab suci (al-Qur’an), maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta (al-kaun). Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya, serta mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu, ia diminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya di hadapan yang diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam QS. 35 (Faathir : 39) yang artinya adalah : “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafiranorang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lainhanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”. Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan juga sebagai hamba allah, bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan suatu kesatuan yang padu dan tak terpisahkan. Kekhalifan adalah realisasi dari pengabdian kepada allah yang menciptakannya. Dua sisi tugas dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian rupa. Apabila terjadi ketidakseimbangan, maka akan lahir sifat-sifat tertentu yang menyebabkan derajad manusia meluncur jatuh ketingkat yang paling rendah, seperti fiman-Nya dalam QS (at-tiin: 4) yang artinya: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Al-Insan (manusia) adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki potensi untuk beriman kepada Allah, dengan mempergunakan akalnya mampu memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, bertanggung jawab atas segala perbuatannya dan berakhlak. (N.A Rasyid, 1983: 19) Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanyas dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Sebagai khalifah, manusia diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan ummat manusia BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Berdasarkan berbagai aspek yang telah di bahas, maka dapat disimpulkan bahwa hakekat manusia dalam pandangan islam yaitu sebagai khalifah di bumi ini. Yang mampu merubah bumi ini kearah yang lebih baik. Hal yang menjadikan manusia sebagai khalifah adalah karena manusia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki makhluk lainnya, seperti akal dan perasaan. Selain itu manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang paling baik, ciptaan Allah yang paling sempurna. Manusia adalah mahluk Allah yang paling mulia, di dalam Al-qur’an banyak sekali ayat-ayat Allah yang memulyakan manusia dibandingkan dengan mahluk yang lainnya.Dan dengan adanya ciri-ciri dan sifat-sifat utama yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia menjadikannya makhluk yang terpilih diantara lainnya memegang gelar sebagai khalifah di muka bumi untuk dapat meneruskan,melestarikan,dan memanfaatkan segala apa yang telah Allah ciptakan di alam ini dengan sebaik-baiknya. Tugas utama manusia adalah beribadah (لِيَعْبُدُونِ ) kepada Allah SWT. Semua ibadah yang kita lakukan dengan bentuk beraneka ragam itu akan kembali kepada kita dan bukan untuk siapa-siapa. Patuh kepada Allah SWT, menjadi khalifah, melaksanakan ibadah, dan hal-hal lainnya dari hal besar sampai hal kecil yang termasuk ibadah adalah bukan sesuatu yang ringan yang bisa dikerjakan dengan cara bermain-main terlebih apabila seseorang sampai mengingkarinya.Perlu usaha yang keras,dan semangat yang kuat ketika keimanan dalam hati melemah,dan pertanggungjawaban yang besar dari diri kita kelak di hari Pembalasan nanti atas segala apa yang telah kita lakukan di dunia. 3.2 Saran Sebagai manusia yang telah mengetahui perannya, alangkah baiknya jika kita melaksanakan peran kita, tugas kita sebagai seorang khalifah di bumi ini dengan baik. Manusia telah diberi kelebihan oleh Allah SWT, oleh karena itu dengan kelebihan tersebut kita akan mampu menjalankan tugas kita sebagai seorang khalifah dengan tetap berusaha untuk mendapatkan ridho Allah SWT. DAFTAR PUSTAKA http://fud.iainbanten.ac.id/attachments/article/59/Hakikat%20Manusia%20Perspektif%20Islam.pdf Diakses pada tanggal 02 Novembert 2012 http://id.scribd.com/doc/99257577/Hakikat-Manusia-Dalam-Islam Diakses pada tanggal 02 Novembert 2012 http://diaharrazy.files.wordpress.com/2011/10/2-hakikat-manusia-dalam pandangan-islam.pdf Diakses pada tanggal 02 Novembert 2012 http://devils-online.blogspot.com/2012/02/peran-dan-tanggung-jawab-manusia.html Diakses pada tanggal 02 Novembert 2012 http://diaharrazy.files.wordpress.com/2011/10/hakekat-manusia-dalam-pandangan-islam.pdf Diakses pada tanggal 02 Novembert 2012 http://tafany.wordpress.com/2009/04/01/hakikat-manusia-menurut-islam-2/ Diakses pada tanggal 02 Novembert 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar