Aspek
Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri
1.
Kelayakan
(Feasibility)
1.1
Sumber
daya yang tersedia
-
Status ekonomi
Penanaman pohon-pohon ditentukan oleh
faktor tingkat kekayaan dan status lahan. Jumlah rumah tangga miskin (menguasai
lahan sempit) yang menanam pohon-pohon lebih sedikit daripada rumah tangga
kaya, demikian pula jumlah pohon yang ditanam oleh rumah tangga miskin lebih
sedikit daripada jumlah pohon rumah tangga kaya (menguasai lahan luas).
-
Luas lahan
Pemilikan
lahan yang sempit cenderung mengurangi minat budidaya pohon-pohon (Acacia
mearnsii) di pedesaan Banjarnegara, Wonosobo, dan Gunung Kidul. Peningkatan
kepadatan penduduk berarti peningkatan ketersediaan tenaga kerja per unit
lahan, sehingga petani lebih memilih tanaman-tanaman yang lebih intensif.
-
Kualitas lahan
Berdasarkan penelitiannya pada masyarakat
petani di Peru – Amazon, Loker (1993) menunjukkan bahwa dalam kondisi alam yang
sulit (lahan tidak subur atau miskin) petani Peru telah mengembangkan sistem
pertanian campuran yang mencakup budidaya tanaman setahun (a.l. padi, jagung,
ubi kayu), budidaya tanaman tahunan (a.l. sitrus, mangga), dan pemeliharaan
ternak sapi. Lahan yang tersedia sangat luas, sedangkan ketersediaan tenaga
kerja terbatas. Pemeliharaan ternak sapi, meskipun dipandang telah menyebabkan
kerusakan lingkungan (degradasi lahan), merupakan strategi hidup yang penting
dan memberikan keuntungan ganda bagi peternak.
-
Tenaga kerja dan alokasinya
Pengaruh faktor ketersediaan tenaga
kerja terhadap pilihan budidaya pohon-pohon ditunjukkan oleh kasus di pedesaan
Jawa (Berenschot et al., 1988; Van Der Poel dan Van Dijk, 1987) dan
Afrika bagian Timur (Warner, 1995). Rumah tangga yang kekurangan tenaga kerja
pada musim-musim tertentu karena kegiatan migrasi cenderung membudidayakan
pohon-pohon karena budidaya pohon-pohon membutuhkan masukan tenaga kerja yang
rendah dan memberikan pendapatan yang relatif tinggi.
1.2
Teknologi
Pendukung
-
Terdapat perbedaan pandangan antara
penyedia dengan pelaku teknologi
Para petani memiliki pertimbangan dan
pemahaman yang berbeda, sehingga apa yang mereka lakukan tidak selalu sesuai
dengan rekomendasi atau tawaranteknologi yang diberikan oleh peneliti.
-
Ada hambatan komunikasi antara penyedia
dengan pelaku teknologi
Hambatan komunikasi antara penyedia
dengan pelaku teknologi kemungkinan juga disebabkan oleh rendahnya penyediaan
sarana dan prasarana komunikasi, termasuk kelangkaan tempat atau orang di mana
pelaku teknologi dapat bertanya tentang masalah agroforestri pada lahannya.
Terbinanya komunikasi yang lebih intim antara penyedia dan pelaku teknologi
dapat meningkatkan kepekaan peneliti akan masalah yang dihadapi di lapangan.
-
Penyeragaman teknologi untuk berbagai
plot pada berbagai bentang lahan
Bentang lahan yang berbeda akan
mempunyai sifat dan ciri yang berbeda pula, sehingga setiap sistem agroforestri
pada bentang lahan yang berbeda akan memerlukan penanganan dan teknologi yang
berbeda.
1.3
Orientasi
produksi
Alasan utama yang mendasari keputusan
rumah tangga petani untuk menerapkan agroforestri adalah keuntungan finansial
dari hasil pohon.
-
Dari subsistem ke komersial
Pengertian subsistem dan komersial dalam
tulisan ini dimaksudkan secara sederhana untuk menggambarkan adanya orientasi
produksi agroforestri untuk dikonsumsi sendiri atau untuk dipasarkan, bukan
dimaksudkan untuk menggambarkan adanya model produksi kapitalis (the
capitalist mode of production). Orientasi subsisten mengarahkan
pilihan-pilihan jenis tanaman untuk dapat dikonsumsi sendiri, sedangkan
orientasi komersial mengarahkan pilihan-pilihan jenis tanaman yang dapat
dipasarkan. Perubahan orientasi pasar dari subsisten ke komersial seringkali
merupakan ancaman terhadap keberlanjutan sistem agroforestri.
-
Kehidupan yang semakin konsumtif
Meningkatnya hubungan masyarakat desa
dengan masyarakat industri/kota, dapat menyebabkan makin tingginya kebutuhan
uang untuk membeli produk industri, atau menciptakan kehidupan yang lebih
konsumtif.
-
Pemenuhan kebutuhan
Untuk konsumsi sendiri dan pemasaran
lokal secara langsung, bukan hanya kuantitas, tetapi juga kualitas menjadi
bahan pertimbangan penting. Kemudahan akses ke pasar dan harga pasar bagi
produk pertanian dibandingkan pohon akan menentukan apakah petani memilih
menanam pohon di lahan mereka atau tidak.
1.4
Pengetahuan
lokal petani
Petani telah mempraktekkan agroforestri
selama berabad-abad. Tidak jarang mereka berpedoman bahwa lebih baik menerapkan
teknik yang sudah biasa mereka lakukan dibandingkan dengan menerapkan sesuatu
yang masih baru (dan dibawa oleh orang luar). Petani akan lebih mudah
mengadopsi agroforestri jika mereka terbiasa dengan penggunaan pohon dalam
sistem pertanian, dan mengetahui bahwa integrasi pohon ke dalam proses produksi
pangan telah sukses dilakukan oleh petani yang lain.
1.5
Kebijakan
pendukung
Kebijakan kenaikan harga bahan bakar
minyak misalnya dapat mengakibatkan semakin tingginya harga input produksi
tanaman pangan. Hal ini ditunjang dengan pengurangan subsidi pupuk sampai ke
tingkat harga yang tidak terjangkau petani. Di pihak lain, pada lahan-lahan
yang kualitas kesuburannya rendah, kebutuhan pupuk semakin besar jika petani
ingin mempertahankan tingkat produksi. Kondisi ini dapat dimanfaatkan sebagai
pendorong bagi penerapan dan pengembangan agroforestri.
2.
Keuntungan
(Profitability)
2.1
Konsep
Ekonomi
Sistem agroforestri dapat dikatakan
menguntungkan apabila 1) dapat menghasilkan tingkat output yang lebih banyak
dengan menggunakan jumlah input yang sama, atau 2) membutuhkan jumlah input
yang lebih rendah untuk menghasilkan tingkat output yang sama. Kondisi ini
dicapai apabila ada interaksi antar komponen yang saling menguntungkan baik
dari segi biofisik, maupun ekonomi. Interaksi biofisik sebenarnya mencerminkan
interaksi ekonomi, apabila output fisik per satuan lahan diubah menjadi nilai
uang per satuan biaya faktor produksi. Seperti juga dalam interaksi biofisik, interaksi
ekonomi antar komponen dalam sistem agroforestri dapat bersifat menguntungkan,
netral, maupun kompetitif. Dasar penerapan agroforestri adalah interaksi
biofisik yang positif, yang akan menghasilkan interaksi ekonomi yang positif
pula.
2.2
Cara
melakukan analisis ekonomi terhadap sistem agroforestri
Tidak seperti sistem produksi yang lain,
agroforestri bertujuan untuk kesinambungan produksi. Oleh karena itu, salah
satu keuntungan yang diperoleh adalah mencegah terjadinya penurunan output dari
sistem produksi masa kini. Salah satu karakteristik agroforestri adalah
terjadinya penundaan memperoleh sebagian keuntungan, sedangkan biaya produksi
harus dikeluarkan pada awal pelaksanaan. Oleh karena itu, analisis jangka pendek
menghasilkan taksiran keuntungan yang lebih rendah dari sesungguhnya, dan
hasilnya seolah-olah tidak ekonomis.
2.3
Indikator
finansial
Sistem agroforestri menghasilkan
bermacam-macam produk yang jangka waktu pemanenannya berbeda, di mana paling
sedikit satu jenis produknya membutuhkan waktu pertumbuhan yang lebih dari satu
tahun. Untuk melihat sejauh mana suatu usaha agroforestri memberikan
keuntungan, maka analisis yang paling sesuai untuk dipakai adalah analisis
proyek yang berbasis finansial.
2.4
Kontribusi
pendapatan rumah tangga dan perekonomian wilayah
Agroforestri sebagai suatu sistem
produksi tentunya memberikan pendapatan terhadap pengelolanya baik langsung
maupun tidak langsung. Analisis ekonomi yang banyak dilakukan di Indonesia
adalah melihat seberapa besar suatu sistem agroforestri memberikan kontribusi
terhadap pendapatan total keluarga dan juga bagaimana kontribusi hasil dari
suatu sistem agroforestri terhadap perekonomian daerah setempat.
3.
Kemudahan
untuk Diterima (Acceptibility)
3.1
Risiko
usaha
Bagi petani dengan lahan sempit, keamanan
produksi bahan subsisten atau pendapatan adalah hal penting, mengingat
keberlanjutan hidup mereka tergantung padanya. Oleh karena itu, mereka
membutuhkan akses yang aman pada sumber daya seperti lahan, air, dan pepohonan.
Pencarian keamanan mempengaruhi pilihan teknik dan strategi.
3.2
Identitas
sosial budaya
Sistem penggunaan lahan yang diterapkan
secara perorangan harus selaras dengan budaya setempat dan visi masyarakat
terhadap kedudukan dan hubungan mereka dengan alam. Bentuk bentang lahan
penggunaan lahan dan perkembangannya merupakan bagian dari identitas masyarakat
yang hidup di dalamnya. Petani biasanya memiliki kebutuhan yang kuat untuk
memihak pada budaya setempat. Sejarah dan tradisi memainkan peranan penting
dalam kehidupan, cara dan sistem penggunaan lahan mereka. Perubahan yang tidak selaras
dengan nilai-nilai sosial, budaya, spiritual mereka, bisa menyebabkan stress
dan menciptakan kekuatan yang berlawanan.
3.3
Gender
Gender menggambarkan peran laki-laki dan
perempuan sebagai hasil dari konstruksi sosial budaya. Oleh karena itu
perbedaan gender suatu kelompok masyarakat berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.
Dalam aktivitas kehutanan dan agroforestri, perbedaan peran laki-laki dan perempuan
tidak terlepas dari perspektif gender dari masyarakatnya. Dalam suatu kelompok
masyarakat tertentu perempuan diberi peran penting dalam aktivitas dan akses
pada sumber daya agroforestri, sedangkan dalam masyarakat lainnya peran
perempuan dipinggirkan atau dimarginalkan. Pemahaman terhadap aspek gender ini
sangat penting dalam upaya pengembangan agroforestri untuk mencapai
keberhasilan fisik agroforestri maupun sosial ekonomi pengelola agroforestri.
3.4
Kesempatan
kerja di luar lahan atau di luar sektor pertanian
Penghasilan lain dari luar (off-farm) atau
di luar sektor pertanian ini (non-farm) juga memberikan keuntungan untuk
memenuhi kebutuhan tunai jangka pendek, yang tidak bisa menunggu sampai musim
panen tiba. Jenis pekerjaan lain yang paling mudah menghasilkan tunai adalah
menjual tenaga di bidang pertanian misalnya sebagai buruh tani. Pekerjaan di
luar pertanian adalah pedagang, usaha transportasi, tenaga kasar, tukang,
karyawan swasta, pemerintah, dan sebagainya. Seringkali dijumpai petani yang
merangkap sebagai sopir, pedagang, pegawai, ternyata memiliki tingkat
penghasilan yang lebih baik daripada menjadi petani saja. Mereka memiliki
kelebihan dibandingkan petani murni, misalnya akses terhadap pasar dan
informasi, ketahanan terhadap risiko kegagalan usaha tani dan sebagainya.
Petani campuran itu ternyata bisa menjalankan usaha taninya dengan lebih
efisien, sehingga usaha taninya lebih berkembang (Hairiah et al., 2000).
4.
Jaminan
Kesinambungan (Sustainability)
4.1
Penguasaan
lahan
Penguasaan lahan (property right) sangat
penting dalam pelaksanaan agroforestri. Apabila tidak ada kepastian penguasaan
lahan, maka insentif untuk menanam pohon/agroforestri menjadi sangat lemah,
mengingat sistem agroforestri merupakan strategi usaha tani dalam jangka
panjang. Investasi yang dilakukan dalam pembukaan lahan dan penanaman pohon
akan dinikmati dalam waktu yang lebih panjang. Oleh karena itu diperlukan kepastian
pengusahaan lahan dan pohon untuk memberikan jaminan kepada petani untuk
menikmati hasil panen.
4.2
Penguasaan
atas pohon
Misalnya, pada masyarakat suku Dayak di
pedesaan Kalimantan Barat, siapa yang menguasai lahan sekaligus juga menguasai
jenis tumbuhan atau tanaman yang tumbuh di atasnya (Peluso dan Padoch, 1996).
Pada masyarakat suku Muyu, Irian Jaya, sagu (dan juga tanaman jenis pohon lain)
menjadi simbol hak pemilikan suatu unit lahan (Schoorl, 1970), demikian pula di
pedesaan Sukabumi, Jawa Barat (Suharjito, 2002) dan Jawa pada umumnya. Fortmann
(1988) menjelaskan bahwa penguasaan atas pohon mencakup sekumpulan hak-hak yang
dapat dipegang oleh orang yang berbeda pada waktu yang berbeda.
4.3
Aspek
hubungan sosial
Selain dari aspek hukumnya, sistem penguasaan sumber
daya agroforestri mengandung aspek hubungan sosial. Hubungan sosial itu dapat
berupa hubungan kerja atau bagi hasil antara pemilik agroforestri dengan buruh
tani, hubungan sewa atau gadai antara pemilik lahan dengan penyewa atau penggadai
lahan, hubungan kontrak lahan antara pemilik lahan dengan pemilik modal yang
mengkontrak lahan untuk budidaya agroforestri. Hubungan sosial itu menunjukkan
posisi-posisi dan kekuasaan-kekuasaan orang-orang (pihakpihak) yang terlibat. Adanya
perkembangan sosial ekonomi, hubungan-hubungan sosial berkembang dan aturan
penguasaan sumber daya agroforestri semakin kompleks.
Untuk
menjamin diterapkan dan dikembangkannya agroforestri oleh petani
maupun oleh
pihak terkait, diperlukan pertimbangan yang bukan hanyaberdasar pada biofisik
(peran dan fungsi agroforestri secara biofisik), tetapi jugaberdasarkan aspek
sosial budaya ekonomi. Para pengambil keputusan seringkali hanya
mempertimbangkan analisis untung-rugi secara ekonomi.
Kesulitan
analisis ekonomi terletak pada bagaimana mengukur untung-rugi
layanan
lingkungan oleh agroforestri. Di tingkat petani, keputusan untuk menerapkan dan
mengembangkan agroforestri mencakup berbagai hal yang jauh lebih kompleks dari
sekedar analisis untung-rugi. Suatu sistem penggunaan lahan dinilai dari
bagaimana sistem tersebut dapat memenuhi kebutuhan dasar petani, termasuk
pangan, papan, dan penghasilan tunai. Sayangnya, sistem penggunaan lahan yang potensial
seringkali dibatasi oleh berbagai faktor lain, seperti kebijakan yang berlaku,
infrastruktur yang tersedia, aturan-aturan sosial budaya, ketersediaan sumber
daya, kemudahan akses terhadap informasi, dsb. Kesemua faktor tersebut mempengaruhi
apakah suatu sistem agroforestri layak untuk dikembangkan, menguntungkan baik secara
ekonomi maupun dari segi biofisik, dapat diterima atau paling tidak sesuai
dengan sosial budaya setempat, dan terjamin kesinambungannya.
Sumber
Referensi
Suharjito,
Didik, Leti Sundawati, Suryanto, Sri Rahayu Utami. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri: PDF. ICRAF. Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar