I. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Hasil hutan non-kayu adalah bahan-bahan atau komoditas yang didapatkan dari hutan tanpa
harus menebang pohon. Mencakup hewan buruan, rambut hewan, kacang-kacangan, biji, buah beri, jamur, minyak, daun, rempah-rempah, rempah daun, gambut, ranting untuk kayu bakar, pakan hewan ternak, dan madu. Selain itu, tumbuhan
paku, kayu manis, lumut, karet, resin, getah, dan ginseng juga masuk ke dalam kategori hasil
hutan non-kayu (Kasmudjo, 2011)
Hasil
hutan non-kayu dihargai tinggi oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan
dan seringkali merupakan sumber mata pencaharian mereka. Hasil hutan non-kayu
juga banyak dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Hasil hutan non-kayu
dipandang sebagai cara alternatif dalam menggerakkan perekonomian kehutanan
selain dengan melakukan penebangan kayu. Hasil hutan non-kayu juga mampu
menghasilkan diversitas perekonomian suatu wilayah (Laporan HHNK, 2013).
Hasil hutan non-kayu dimanfaatkan oleh
manusia di seluruh dunia, tidak dibatasi oleh suku, tingkat usia, dan tingkat
kemapanan. Penggunaan hasil hutan non-kayu oleh penduduk setempat dapat
bernilai ekonomi, historis, prestis, dan religius. Hasil hutan non-kayu
merupakan bahan baku industri, mulai dari industri tanaman hias, industri
farmasi, industri pangan, dan sebagainya.
Hasil hutan non-kayu mencakup semua
keanekaragaman biologi selain kayu yang digali dari hutan untuk keperluan
manusia. Hasil-hasil hutan ini termasuk makanan, obat-obatan, bumbu-bumbu,
damar, karet, tanaman hias, hewan dan produk-produk yang dihasilkan oleh hewan
(misalnya sarang burung walet, madu, dan lainnya), rotan, bambu dan serat-serat
(mis: pandan yang dapat dianyam menjadi tikar). Food and Agricultural Organization (FAO) mendefinisikan HHNK
sebagai produk selain kayu yang berasal dari bahan biologis, diperoleh dari
hutan dan pepohonan yang tumbuh di sekitar hutan. Semua HHNK mempunyai
karakteristik yang sama yaitu digali oleh masyarakat di dalam dan sekitar hutan
dengan menggunakan teknologi yang sederhana
(Laporan HHNK, 2013).
Secara ekologis HHNK tidak
memiliki perbedaan fungsi dengan hasil hutan kayu, karena sebagian besar HHNK
merupakan bagian dari pohon. Menurut UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999,
disebutkan bahwa HHNK adalah hasil hutan hayati maupun non hayati. Hasil hutan
non kayu (HHNK) merupakan salah satu hasil hutan selain kayu dan jasa
lingkungan. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 35 tahun 2007, HHNK adalah
hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan
budidayanya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Beragam manfaat sosial,
ekonomi dan lingkungan dapat diperoleh dari keberadaan HHNK ini. Sementara ini
ada 558 komoditas HHNK yang menjadi urusan Departemen Kehutanan (Laporan HHNK, 2013).
Hasil hutan non kayu sudah sejak lama masuk
dalam komponen strategi penghidupan penduduk hutan. Saat ini, upaya untuk
mempromosikan pemanfaatan hutan yang ramah lingkungan berhasil meningkatkan
perhatian terhadap pemasaran dan pemungutan hasil hutan non kayu sebagai suatu
perangkat dalam mengembangkan konsep kelestarian. Meskipun demikian, tidak ada
jaminan akan menghasilkan keluaran yang positif (Artikel, 2012).
Sebagaimana kita ketahui
masalah pengembangan komoditas hasil hutan non kayu bukan semata terletak pada
pemilihan komoditi unggulan, kendatipun upaya tersebut merupakan fokus tindakan
untuk memajukan. Sisi lain dari pengembangan yang juga dibutuhkan adalah, upaya
fokus untuk memberikan dukungan data dan informasi tentang aspek potensi dan
pemanfaatn, pemungutan, pengolahan dan kualitas produk. Hasil hutan non kayu
adalah amanah yang dititipkan untuk disyukuri dengan cara memanfaatkan dan
mengolahnya secara bijaksana sebagai sarana mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat (Kasmudjo, 2011).
1.2
Tujuan
dan Kegunaan
Adapun
tujuan dari Praktikum Hasil Hutan Non Kayu adalah mahasiswa dapat mencari data dan informasi mengenai hasil hutan non kayu di
Desa Bobo.
Adapun
kegunaan dari Praktikum Hasil Hutan Non Kayu adalah agar mahasiswa dapat mengetahui manfaat yang diberikan
oleh jenis-jenis hasil hutan non kayu dan dapat menjadi literatur dalam
pembelajaran mata kuliah Hasil Hutan Non Kayu (HHNK).
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Lebah
Madu
Klasifikasi
Ilmiah
Kerajaan : Animalia
Filum :
Arthropoda
Kelas :
Insecta
Ordo :
Hymenoptera
Famili :
Apidae
Bangsa :
Apini
Genus : Apis Linnaeus
Lebah madu mencakup sekitar tujuh spesies lebah dalam genus Apis, dari
sekitar 20.000 spesies yang
ada. Saat ini dikenal sekitar 44 subspesies.
Mereka memproduksi dan menyimpan madu yang dihasilkan
dari nektar bunga. Selain itu mereka
juga membuat sarang dari malam, yang
dihasilkan oleh para lebah pekerja di koloni lebah madu. Lebah madu yang ada di alam Indonesia adalah A.
andreniformis, A. cerana dan A. dorsata, serta khusus di Kalimantan
terdapat A. koschevnikovi (Wikipedia, 2013).
Pembudidayaan
lebah madu yang kini populer berasal dari kawasan Laut Tengah (Afrika Utara,
Eropa selatan dan Asia Kecil) yang selanjut menyebar ke seluruh wilayah dunia.
Bangsa Mesir Kuno membuat corong dari tanah liat sebagai sarang lebah, kemudian
dari keranjang anyaman. Di Afrika lebah madu dipelihara dalam bongkahan kayu
berbentuk silinder dan sarang tersebut digantung di pohon. Bangsa Rusia sebagai
pengembang lebah madu secara modern, malahan disebut sebagai daerah lahan madu.
Rusia mulai mengembangkan peternakan madu sejak abad ke 10 hingga kini secara
besar-besaran. Mereka yang menemukan sarang lebah madu yang bisa
dipindah-pindahkan, teknik tersebut diperkenalkan oleh Peter Prokovich
(1775-1850) (Wikipedia, 2013).
Lebah
madu adalah serangga sosial kaya manfaat, semua yang dihasilkan oleh lebah madu
dikenal berkhasiat untuk kesehatan. Dalam klasifikasi dunia binatang, lebah
dimasukkan dalam ordo Hymenoptera yang artinya “sayap bening”. Dalam ordo ini
terdapat 100.000 species serangga, termasuk lebah, tawon, semut dan rayap.
Di dunia ada 7 species lebah madu yang sudah diketahui,
yaitu : Apis dorsata, Apis Laboriosa,
Apis Mellifera, Apis Florea, Apis Andreniformis, Apis Cerana dan Apis
Koschevnikovi. Akhir-akhir ini ditemukan lagi species lebah madu baru yaitu
Apis Nigrocincta di Sulawesi dan Apis Nuluensis di Kalimantan. Dengan
ditemukannya dua species baru, jenis lebah yang telah dilaporkan ada sembilan.
Apis Dorsata (lebah raksasa, lebah hutan, tawon gung, odeng,
madu sialang) adalah lebah madu yang hidupnya masih liar. Lebah madu ini masih
sulit dibudidayakan karena selain sifatnya yang agresif dan galak, lokasi
tempat sarangnya sering berada di tempat yang sangat tinggi. Sarangnya bisa
ditemukan tergantung di cabang pohon, loteng, atau bukit batu yang terjal. Satu
koloni menghuni sebuah sisiran yang ukurannya bisa sangat besar. Pada satu
pohon bisa terdapat 5 – 10 koloni. Produk utama Apis Dorsata adalah madu dan
malam dengan produksi madu mencapai 10 -20 kg per koloni per panen. Bahkan,
dari sarang yang besar produksinya bisa mencapai 30kg. Madu yang dihasilkan
dinamakan madu hutan.
Madu
Hutan disebut juga madu Multiflora, karena terbuat dari bermacam-macam bunga
tanaman yang berlainan. Umumnya Madu Hutan berwarna coklat kehitaman, hal ini
karena Madu Hutan banyak mengandung mineral, enzim dan berbagai zat bermanfaat
lainnya yang lebih lengkap bila
dibandingkan dengan jenis Madu lain yang warnanya lebih terang (Ngakan
dkk, 2005).
Lebah
madu selalu hidup berkoloni, rata-rata setiap koloni berkisar 60-70 ribu lebah
dalam satu sarang. Walaupun populasi yang demikian padat, lebah mampu melakukan
pekerjaannya secara terencana dan teratur rapi.
Didalam sarang
lebah, terdapat:
·
Ratu
lebah (Queen Bee)
·
Lebah
jantan (Drones)
·
Lebah
Pekerja :
o Lebah perawat (Nurse Bees)
o Lebah pencari (Scout Bees)
o Lebah pengumpul (Collector Bees)
2.2
Tanaman Anggrek
Klasifikasi Ilmiah
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Asparagales
Famili : Orchidoideae
Genus : Orchidaceae
Juss.
Anggrek memiliki nama latin Orchidaceae, yaitu
merupakan satu suku tumbuhan berbunga yang memiki anggota atau jenis terbanyak.
Jenis-jenisnya tersebar luas dari mulai wilayah tropika basah sampai lokasi
sirkumpolar, walau beberapa besar anggotanya ditemukan di wilayah tropika.
Umumnya anggota suku ini hidup sebagai epifit, terlebih yang datang dari
wilayah tropika. Anggrek di wilayah beriklim sedang umumnya hidup di tanah
serta membentuk umbi sebagai langkah beradaptasi pada musim dingin.
Organ-organnya yang condong tidak tipis serta berdaging (sukulen) membuatnya
tahan hadapi tekanan ketersediaan air. Anggrek epifit bisa hidup dari embun
serta udara lembap. Orchidaceae merupakan sumber inspirasi dari penamaan kereta
api argo anggrek, kereta api kelas eksekutif yang melayani perjalanan surabaya
pasar turi-gambir
(Satwa, 2013).
Seperti halnya bunga-bunga lainya, Anggrek
juga memiliki ciri khas tersendiri hingga menjadikanya beda serta mudah
dikenali. Bagian suku ini cenderung mempunyai organ-organ yang sukulen atau
berdaging : tidak tipis dengan kandungan air yang tinggi. Karena ia bisa hidup
pada situasi ketersediaan air yang rendah. Air didapatkan dari hujan, tetesan,
embun, atau uap air di udara. Tetapi demikianlah, anggrek tidak ditemukan di
tempat gurun dikarenakan perakarannya tidak intensif. Anggrek suka sinar
matahari namun tidak segera hingga ia biasa ditemukan di alam sebagai tumbuhan
lantai rimba atau dibawah naungan. Sebagai tanaman hias, anggrek tahan didalam
area (Satwa, 2013).
Memiliki akar serabut, tidak
dalam. Beberapa jenis epifit yakni mengembangkan akar sukulen serta menempel
pada batang pohon tempatnya tumbuh, tetapi tidak merugikan pohon inang. Ada
juga yang tumbuh geofitis, dengan arti lain terrestria berarti tumbuh di tanah
dengan akar-akar didalam tanah. Ada juga yang berbentuk saprofit, tumbuh pada
media daun-daun kering serta kayu-kayu lapuk yang sudah membusuk jadi humus.
Pada permukaan akar kerapkali ditemukan jamur akar (mikoriza) yang bersimbiosis
dengan anggrek (Satwa,
2013).
Batang anggrek beruas-ruas.
Anggrek yang hidup di tanah (anggrek tanah) batangnya pendek serta condong
mirip umbi. Sesaat itu, anggrek epifit batangnya tumbuh baik, kerapkali menebal
serta terlindungi susunan lilin untuk menghindar penguapan terlalu berlebih.
Perkembangan batang bisa berbentuk memanjang (monopodial) atau melebar
(simpodial), bergantung genusnya (Satwa, 2013).
Daun anggrek umumnya oval
memanjang dengan tulang daun memanjang juga, khas daun monokotil. Daun bisa
juga menebal serta berperan sebagai penyimpan air. Bunga anggrek bentunya khas
serta menjadikanya ciri yang membedakannya dari bagian suku lain. Bunga-bunga
anggrek tersusun majemuk, nampak dari tangkai bunga yang memanjang, nampak dari
ketiak daun. Bunganya simetri bilateral. Helaian kelopak bunga (sepal) umumnya
berwarna serupa dengan mahkota bunga (hingga dimaksud tepal). Satu helai
mahkota bunga termodifikasi membentuk sejenis lidah yang membuat perlindungan
satu susunan aksesori yang membawa benang sari serta putik. Benang sari
mempunyai tangkai amat pendek dengan dua kepala sari berupa cakram kecil
(dimaksud pollinia) serta terlindung oleh susunan kecil yang perlu di buka oleh
serangga penyerbuk (atau manusia untuk vanili) serta membawa serbuk sari ke
mulut putik. Tanpa pertolongan organisme penyerbuk, tak lagi berlangsung
penyerbukan (Satwa,
2013).
Buah anggrek berupa kapsul yang
berwarna hijau serta bila masak jadi kering serta terbuka dari samping. Bijinya
amat kecil serta mudah, hingga gampang terbawa angin. Biji anggrek tidak
mempunyai jaringan penyimpan cadangan makanan ; apalagi embrionya belum meraih
kematangan prima. Perkecambahan baru berlangsung bila biji jatuh pada medium
yang cocok serta meneruskan perubahannya sampai kemasakan (Satwa, 2013).
·
Anggrek Berdasarkan Tipe Pertumbuhan
a. Monopodial
Anggrek Monopodial ini cuma mempunyai satu batang serta satu titik tumbuh saja. Bunganya mulai tumbuh dari ujung batang. Anggrek ini bisa diperbanyak dengan stek batang serta biji. Perumpamaan : Vanda Sp., serta Phalaenopsis Sp. atau anggrek bulan.
Anggrek Monopodial ini cuma mempunyai satu batang serta satu titik tumbuh saja. Bunganya mulai tumbuh dari ujung batang. Anggrek ini bisa diperbanyak dengan stek batang serta biji. Perumpamaan : Vanda Sp., serta Phalaenopsis Sp. atau anggrek bulan.
b. Simpodial
Anggek Simpodial ini mempunyai kian lebih satu titik tumbuh. Tunas baru nampak dari lebih kurang batang utama. Bunga dapat nampak di pucuk atau segi batang, namun ada juga yang nampak dari akar tinggal. Batangnya mampu menyimpan air cadangan makanan atau umbi semu. Anggrek ini bisa diperbanyak dengan langkah split, pembelahan keiki, biji. Perumpamaan : Dendrobium Sp. dan juga Cattleya Sp.
Anggek Simpodial ini mempunyai kian lebih satu titik tumbuh. Tunas baru nampak dari lebih kurang batang utama. Bunga dapat nampak di pucuk atau segi batang, namun ada juga yang nampak dari akar tinggal. Batangnya mampu menyimpan air cadangan makanan atau umbi semu. Anggrek ini bisa diperbanyak dengan langkah split, pembelahan keiki, biji. Perumpamaan : Dendrobium Sp. dan juga Cattleya Sp.
·
Anggrek Berdasarkan Tempat Tumbuh
a. Anggrek Epifit
Anggrek epifit merupakan anggrek yang
tumbuh menumpang pada pohon lain, akan tetapi tanpa merugikan tanaman inangnya
serta memerlukan naungan dari sinar matahari. Akar anggrek menyerap makanan
yang berasal dari air hujan, kabut serta udara yang ada di sekitarnya. Misalnya
: Cattleya Sp., Dendrobium Sp., Vanda Sp.
dan juga Phalaenopsis Sp.
b. Anggrek Terestial
Anggrek terestial merupakan anggrek
yang tumbuh di tanah serta memerlukan sinar matahari segera. Akarnya mengambil
makanan dari tanah. Perumpamaan : Phaius
Sp.
c. Anggrek Saprofit.
Anggrek saprofit merupakan anggrek
yang tumbuh pada media yang memiliki kandungan humus atau daun-daun kering, dan
menbutuhkan sedikit sinar matahari. Type ini tidak mempunyai daun serta
klorofil. Perumpamaan : Goodyera Sp.
d. Anggrek Litofit.
Anggrek litofit merupakan anggrek yang tumbuh
pada batu-batuan atau tanah berbatu, serta tahan pada sinar matahari penuh.
Anggek litofit ini mengambil makanan dari hujan, udara, humus. Perumpamaan : Paphiopedilum Sp (Satwa, 2013).
Pada pertengahan zaman, anggrek memiliki
peran mutlak didalam pengembangan teknik penyembuhan memakai tumbuh-tumbuhan.
Pemakaiannya lalu meluas hingga jadi bahan ramu-ramuan serta apalagi pernah
diakui sebagai bahan baku utama pembuatan ramuan ramuan cinta pada saat
spesifik. Saat anggrek nampak didalam mimpi seseorang, perihal ini diakui
sebagai lambang representasi dari keperluan yang mendalam dapat kelembuatan,
romantisme, serta kesetiaan didalam satu jalinan. Selanjutnya, pada permulaan
abad ke-18, aktivitas mengkoleksi anggrek mulai jadi aktivitas yang banyak
dikerjakan di semua penjuru dunia, terlebih dikarenakan keindahan tanaman ini (Satwa, 2013).
Vanili (vanilla planifolia) juga adalah
bagian suku anggrek-anggrekan. Tumbuhan ini digunakan buahnya. Untuk membuahkan
buah, vanili mesti dikawinkan oleh manusia, dikarenakan serangga penyerbuknya
tidak dapat hidup di luar tempat asalnya, walau saat ini usaha-usaha ke arah
pemakaian serangga mulai dikerjakan.
· Jenis-jenis Anggrek Hias
Penyebutan
type anggrek hias biasa dijelaskan dengan nama genusnya saja dikarenakan sangat
banyak hibrida antar spesies serta antargenus yang sudah dibuat. Mengakibatkan,
penamaan anggrek mempunyai sejenis aturan spesial yang agak menyimpang dari
aturan penamaan botani biasa. Tersebut disini nama-nama genus anggrek hias yang
banyak di kenal di kalangan masyarakat :
- Cattleya, Bunganya Besar Serta Spektakuler, Tetapi Sukar Dipelihara
- Dendrobium, Tanaman Hias Sangat Popular Dari Pada Beberapa Jenis Anggrek
- Grammatophylum, Anggotanya Terhitung Grammatophyllum Scriptum Yang Dikenal Juga Dengan Nama Lokal Anggrek Papua Raksasa
- Oncidium, Terhitung Didalamnya Anggrek Golden Shower
- Phalaenopsis, Kepopulerannya Mendekati Dendrobium. Anggrek Bln. Yaitu Di Antara Jenisnya
- Spathyphyllum, Anggrek Tanah
- Vanda, Umumnya Sebagai Bunga Potong
Secara
alami anggrek (Famili Orchidaceae) hidup epifit pada pohon dan ranting-ranting
tanaman lain, namun dalam pertumbuhannya anggrek dapat ditumbuhkan dalam pot
yang diisi media tertentu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
tanaman, seperti faktor lingkungan, antara lain sinar matahari, kelembaban dan
temperatur serta pemeliharaan seperti : pemupukan, penyiraman serta
pengendalian OPT.
Pada
umumnya anggrek-anggrek yang dibudidayakan memerlukan temperatur 28 + 2° C
dengan temperatur minimum 15° C. Anggrek tanah pada umumnya lebih tahan panas
dari pada anggrek pot. Tetapi temperatur yang tinggi dapat menyebabkan
dehidrasi yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman.
Kelembaban nisbi (RH) yang diperlukan untuk anggrek berkisar antara 60–85%. Fungsi kelembaban yang tinggi bagi tanaman antara lain untuk menghindari penguapan yang terlalu tinggi. Pada malam hari kelembaban dijaga agar tidak terlalu tinggi, karena dapat mengakibatkan busuk akar pada tunas-tunas muda. Oleh karena itu diusahakan agar media dalam pot jangan terlampau basah. Sedangkan kelembaban yang sangat rendah pada siang hari dapat diatasi dengan cara pemberian semprotan kabut (mist) di sekitar tempat pertanaman dengan bantuan sprayer.
Kelembaban nisbi (RH) yang diperlukan untuk anggrek berkisar antara 60–85%. Fungsi kelembaban yang tinggi bagi tanaman antara lain untuk menghindari penguapan yang terlalu tinggi. Pada malam hari kelembaban dijaga agar tidak terlalu tinggi, karena dapat mengakibatkan busuk akar pada tunas-tunas muda. Oleh karena itu diusahakan agar media dalam pot jangan terlampau basah. Sedangkan kelembaban yang sangat rendah pada siang hari dapat diatasi dengan cara pemberian semprotan kabut (mist) di sekitar tempat pertanaman dengan bantuan sprayer.
2.3
Tumbuhan Obat
Hutan
Indonesia kaya dengan keanekaragaman hayati, dan menjadi habitat bagi 30,000
dari total sekitar 40,000 jenis tumbuhan obat yang telah dikenal di dunia.
Jumlah tersebut mewakili 90% dari tumbuhan obat yang terdapat di wilayah Asia.
Lebih dari 1000 jenis diantaranya telah digunakan sebagai tumbuhan obat yang
sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berpotensi memberikan manfaat ekonomi,
sosial budaya dan lingkungan bagi masyarakat (Siaran Pers Kementerian
Kehutanan, 2010).
Tanaman
obat yang beraneka ragam jenis, habitus, dan khasiatnya mempunyai peluang besar
serta memberi kontribusi bagi pembangunan dan pengembangan hutan. Karakteristik
berbagai tanaman obat yang menghasilkan produk berguna bagi masyarakat memberi peluang untuk dibangun dan
dikembangkan bersama dalam hutan di daerah tertentu. Berbagai keuntungan yang
dihasilkan dengan berperannya tanaman obat dalam hutan adalah: pendapatan,
kesejahteraan, konservasi berbagai sumberdaya, pendidikan nonformal,
keberlanjutan usaha dan penyerapan tenaga kerja serta keamanan sosial. Usaha
penyebarluasan penggunaan tanaman obat, merupakan hal yang perlu dilakukan (Hamzari, 2008).
Salah
satu pekerjaan yang harus dilakukan sebelum penyebarluasan pemanfaatan tanaman
obat adalah pengenalan tanaman obat. Oleh karena itu, perlu adanya identifikasi
tanaman obat-obatan secara khusus yang
digunakan masyarakat sekitar hutan di Desa Bobo,
selain untuk mendekatkan masyarakat sekitar Hutan kepada pemanfaatan tanaman
obat, sekaligus berfungsi juga sebagai sarana untuk mengikutsertakan masyarakat
dalam upaya pelestarian sumberdaya alam (Hamzari, 2008).
Salah
satu pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan masyarakat adalah tanaman obat-obatan yang berkaitan
langsung dengan masyarakat yang ada di sekitar hutan. Sebagian dari jenis tanaman
obat yang terdapat di Desa Bobo ada yang sudah
dikenal dan ada pula yang belum dikenal dalam ilmu pengetahuan yang dapat
berfungsi sebagai bahan obat-obatan tetapi telah dimanfaatkan oleh masyarakat
setempat secara terbatas sebagai obat tradisional. Berdasarkan hal ini, akan sangat menarik
untuk meneliti jenis-jenis tanaman yang merupakan sumber atau bahan baku
obat-obatan tradisional yang mungkin belum dikenal dalam ilmu pengetahuan modern (Hamzari, 2008).
2.4
Peranan Hasil Hutan Non-Kayu
Hasil
Hutan Non Kayu (HHNK) berasal dari bagian
pohon atau tumbuh-tumbuhan yang memiliki sifat khusus yang dapat menjadi suatu
barang yang diperlukan oleh masyarakat, dijual sebagai komoditi ekspor atau
sebagai bahan baku untuk suatu industri. Mengingat pemungutannya tidak
memerlukan perizinan yang rumit sebagaimana dalam pemungutan hasil hutan kayu
(timber), masyarakat hutan (masyarakat yang tinggal di sekitar hutan) umumnya
bebas memungut dan memanfaatkan HHNK
dari dalam hutan. Masyarakat tidak dilarang memungut dan memanfaatkan HHNK baik di dalam hutan
produksi maupun hutan lindung, kecuali di dalam kawasan suaka alam dan kawasan
pelestarian alam (Departemen Kehutanan 1990).
Secara umum
peranan HHNK dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Peranan HHNK terhadap aspek ekologis
Dalam ekosistem
hutan, HHNK merupakan
bagian dari ekosistem hutan. Beberapa hasil HHNK diperoleh dari hasil pohon, misalnya getah-getahan, tanin resin dan
minyak atsiri. Sedangkan selebihnya dari palm, hasil satwa ataupun anggrek.
Untuk pohon seperti gaharu (Aquilaria malaccensis), dalam ekosistem
memiliki peranan sebagai pohon dominan dengan ketinggian mencapai 30 – 40 m.
Palm berupa sagu, nipah, dll merupakan bagian dari ekosistem yang berfungsi
menjaga abrasi oleh sungai atau laut.
2.
Peranan HHNK terhadap ekonomi rumah tangga
HHNK dapat menjaga adanya kestabilan pendapatan dan
resiliensi (kekenyalan) terhadap perubahan yang terjadi di luar sistem hutan
rakyat. Resiliensi adalah suatu tingkat kelenturan dari sumber pendapatan
terhadap adanya perubahan pasar. Contohnya adanya perubahan nilai tukar mata
uang. Pada saat terjadi krisis moneter, HHNK memiliki peran yang besar terhadap pendapatan rumah tangga dan devisa
negara, karena HHNK tidak menggunakan komponen import dalam memproduksi hasil.
3.
Peranan HHNK terhadap pembangunan wilayah
Dengan
pengaturan terhadap HHNK baik dari proses produksi, pengolahan dan pemasaran, semua dapat
dilakukan oleh masyarakat, sehingga income (pendapatan) dari kegiatan
tersebut masuk dalam wilayah produsen. HHNK seperti getah damar, telah dapat menjadi sektor basis. Dengan adanya
kegiatan produksi dan pengolahan maka terjadi penyerapan tenaga kerja yang
besar (Artikel, 2012).
Sebagai negara tropis, Indonesia merupakan Negara
dengan kekayaan hutan alam hayati yang tinggi, tercermin dengan keanekaragaman
jenis satwa dan flora. Jika kita mampu
mengolah dan memanfaatkan sumber daya hutan tersebut secara lestari maka sumber
daya dapat meningkatkan kesejahteraan masyrarakat (Laporan HHNK, 2013).
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, manusia mulai
mengenal kayu sebagai bahan bangunan.
Penggunaan hasil hutan kayu tetap tidak lepas dari kehidupan
manusia. Walaupun komponen strukturalnya
adalah kayu namun masih tetap mengandalkan bamboo sebagai pagar, tiang,
jendela, dan atap. Rotan sebagai bahan
furniture dan pengikat kayu dan ijuk
sebagai bahan atap rumah. Di
beberapa daerah di Indonesia penggunaan hasil hutan non kayu sebagai komponen structural
masih tetap di minati (Laporan HHNK, 2013).
Bagi masyarakat pedesaan hasil hutan non kayu
merupakan sumber ddaya yang penting bahkan merupakan kebutuhan pokok
mereka. Mereka memanfaatkan hasil hutan
non kayu sebagai pangan (pati sagu, umbi-umbian, pati aren, nira aren), bumbu
makanan (kayu manis, pala) dan obat-obatan.
Selain itu, mereka juga menggunakan hasil hutan non kayu sebagai bahan
pembuat pakaian seperti sarung sutera sebagai bahan pembuat bangunan rumah (Laporan HHNK, 2013).
Sampai saat ini, peranan hasil hutan non kayu sangat
penting, bahkan pemanfaatannya telah mulai ditingkatkan seperti pemanfaatan
bamboo sebagai bahan pembuat kertas dan papan komposit, nira aren sebagai
penghasil gula, cuka dan bioethanol, rotan sebagai furniture yang menarik,
bahan ekstraktif sebagai parfume, dll.
Oleh karena itu, semakin tinggi peradaban manusia semakin tinggi pula
tingkat ketergantungan pada hasil hutan non kayu (Sudarmalik, 2006).
III.
METODE PRAKTEK
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum
Hasil Hutan Non Kayu ini dilaksanakan pada hari Rabu, 04 Desember 2013, mulai pukul 10.00 WITA s.d
selesai. Praktikum Hasil
Hutan Non Kayu ini dilaksanakan di Desa Bobo, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, Palu.
3.2
Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada Praktikum Hasil Hutan Non Kayu adalah alat tulis menulis dan kamera.
3.3
Cara Kerja
Adapun cara kerja dalam Praktikum Hasil Hutan Non Kayu adalah melakukan pengamatan terhadap lebah madu, tanaman anggrek dan tanaman obat yang terdapat di Desa Bobo.
Metode yang kami gunakan adalah metode
wawancara kepada narasumber yang telah dipercayakan untuk memberikan keterangan
seputar lebah madu, tanaman anggrek dan tanaman obat.
Setelah itu, mencatat hasil
pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan terhadap narasumber yang
disajikan.
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Berdasarkan
praktikum yang telah dilaksanakan maka diperoleh hasil sebagai berikut :
a.
Pengamatan Lebah Madu (Apis
cerana Ferb.)

Gambar 1. Lebah Madu (Apis
cerana Ferb.)
b.
Pengamatan Tanaman
Anggrek (Orchidaceae Juss.)

Gambar 2. Anggrek Bebek

Gambar 3. Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis)

Gambar 4. Anggrek Ekor Kucing (Rhinchostylis retusa)

Gambar 5. Anggrek Kalajengking (Arachnis flos-aeris)

Gambar 6. Anggrek Macan (Gramatophyllum sp.)

Gambar 7. Anggrek Mutiara

Gambar 8. Anggrek Telinga Kambing

Gambar 9. Anggrek Telinga Kucing

Gambar
10. Anggrek Kuda Merah
c.
Pengamatan Tumbuhan Obat

Gambar 11.
Mantalalu (Obat Masuk Angin)

Gambar 12.
Baru Datang (Obat Pencahar)

Gambar 13.
Alang-alang

Gambar 14.
Daun Mayana (Obat Batuk)

Gambar 15.
Patikan Kerbau (Obat Patah Tulang)

Gambar 16.
Binahong (Obat Luka)
4.2
Pembahasan
4.2.1 Lebah Madu (Apis
cerana Ferb.)
Lebah
madu Apis cerana atau seringkali dikenal dengan lebah lokal atau dalam
bahasa Inggris dinamakan oriental honeybees. Lebah ini dalam Bahasa Jawa
dinamakan tawon madu atau dalam Bahasa Sunda nyiruan. Jenis lebah ini sangat
dikenal oleh masyarakat luas karena seringnya ditemukan di bunga-bunga sekitar
rumah kita atau tidak jarang bersarang di atap rumah kita.
Lebah
madu Apis cerana biasanya dapat menghasilkan madu lebih kurang 10 Kg per
koloni per tahun. Tetapi hal tersebut sangat tergantung pada pakan lebah yang
ada, maksudnya jika pakan lebah tidak memadai maka tidak akan menghasilkan madu
yang bisa dipanen karena sudah habis dikonsumsi oleh lebah sendiri. Hanya saja
jenis lebah ini tidak menghasilkan royal jelly dan propolis yang bisa
dimanfaatkan secara komersial. Potensi yang sangat dimungkinkan dan
dimanfaatkan oleh masyarakat adalah larva lebah sebagai makananan
(sup/asem-asem larva lebah).
Polennya
bisa diproduksi, terutama pada daerah yang banyak sumber polennya seperti yang
tanaman kelapa, tanaman jagung, dan lain-lain. Madu yang sangat dikenal dari
hasil lebah madu Apis cerana di wilayah pulau Jawa adalah dari bunga
kaliandra merah (Calliandra callothyrsus). Warna madunya kuning
kehijauan. Akan tetapi di beberapa tempat juga bisa kuning kecoklatan. Madu
dari tanaman Accacia mangium warnanya coklat gelap seperti juga pada
madu kelapa terutama yang ada sadapan niranya (juga pada Aren dan Siwalan). Madu dari lebah Apis
cerana sangat khas rasanya, dan apabila anda sudah sekali dua kali
merasakannya maka akan jatuh cinta dan tidak mau berpisah. Hanya sayang memang
pada saat ini jumlah madunya sangat terbatas.
Apis indica atau Apis cerana sering dipelihara oleh masyarakat di pedesaan (Morse
and Hooper, 1985). Singh (1962) menyatakan bahwa, dalam satu koloni lebah Apis
indica terdiri dari 10.000 sampai 15.000 lebah. Secara alami lebah ini hidup di
dalam lubang pada batang pohon, gundukan tanah dari koloni rayap, celah-celah
batu, dan dari tempat-tempat tertutup lainnya. Dalam satu koloni Apis cerana dapat
enghasilkan 3,6 – 4,5 kg madu per koloni per tahun. Menurut Sarwono (2001),
terdapat perbedaan antara lebah jantan dengan lebah pekerja. Lebah jantan
berpantat tumpul dan tidak bersengat, warna tubuhnya hitam, panjangnya 1,3 cm,
tugasnya mengawini lebah ratu. Sedangkan, lebah pekerja berpantat runcing dan
bersengat, warna tubuhnya hitam dengan strip kuning, panjangnya 1,1 cm.
Tugasnya sebagai perawat, penghubung di
dalam sarang, penjaga sarang, perintis atau pencari tempat yang menghasilkan
pakan (bunga), pencari pakan, dan pembuat sarang.
4.2.2 Tanaman Anggrek (Orchidaceae Juss.)
Terdapat
40 jenis tanaman anggrek yang terkumpul di halaman rumah bapak Rusli (40).
Diantaranya adalah jenis anggrek macan, kuda merah, mutiara, kalajengking,
anggrek bulan, anggrek telinga kucing, anggrek telinga kambing, anggrek ekor
kucing, anggrek bebek, dan lain-lain.
Media
tanam untuk semua jenis anggrek ini hanya menggunakan sabuk kelapa, pakis dan
arang dan biasanya juga memakai pupuk yang bernama hertonis. Manfaat hertonis ini adalah untuk perangsang akar bagi
tanaman anggrek, selain itu juga, menggunakan pupuk NPK atau air beras. Akan
tetapi, beda halnya jika anggrek tersebut telah mengalami pembungaan. Beliau
menjelaskan, ketika tanaman-tanaman anggrek tersebut telah berbunga, perlunya
disirami dengan menggunakan air vitsin sebagai vitamin. Kadar yang biasa
digunakan adalah 20 -30 kg dengan 30 liter air.
Tanaman anggrek merupakan tipe tanaman
yang memiliki kecepatan tumbuh yang relatif lambat. Cepat lambatnya pertumbuhan
setiap jenis anggrek adalah berbeda-beda karena sangat tergantung dari
segi pemeliharaan anggrek itu sendiri. Pertumbuhan tanaman anggrek sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor dari dalam angrek itu sendiri
maupun faktor luar. Faktor dari dalam anggrek itu yakni faktor genetik atau
jenis anggrek itu, termasuk anggrek alam atau silangan. Jika jenis anggrek alam
maka pertumbuhan dan pembungaan akan relatif sangat lama sekali jika tanpa
perlakuan khusus, tapi jika jenis anggrek silangan maka pertumbuhan dan
pembungaan relatif lebih cepat.
Faktor luar yang mempengaruhi yakni
intensitas penyinaran cahaya matahari pagi, suhu, kelembaban udara, kebutuhan
air, pupuk, serta kecocokan tempat dan media tumbuh, sirkulasi udara, repotting
dan serangan hama dan penyakit tanaman. Oleh karena itu, teknik budi daya
anggrek terutama dalam hal perawatan tanaman perlu diperhatikan sekali agar
proses pertumbuhannya dapat dipacu guna meningkatkan kualitas dan kuantitas
tanaman anggrek.
Beberapa
hal yang perlu diketahui, anggrek-anggrek tersebut biasanya terserang jamur
cendawan yang akan menyebabkan anggrek mati atau merana. Selain itu, ada juga
hama kutu daun yang menyebabkan daun anggrek tersebut akan menghitam lalu
busuk, sehingga akan menurunkan kualitas nilai keindahan dari anggrek itu
sendiri.
4.2.3 Tumbuhan Obat
1. Binahong
Binahong (Latin : Bassela rubra linn, Inggris : Heartleaf maderavine madevine, Cina : Deng san chi) adalah tanaman obat
yang tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi dan mempunyai banyak
khasiat dalam meyembuhkan berbagai macam penyakit ringan maupun berat.Tanaman ini sudah lama
ada di Indonesia tetapi baru akhir-akhir ini saja menjadi alternatif bagi
sebagian orang untuk dijadikan obat alami untuk menyembuhkan atau mengurangi
beberapa penyakit ringan maupun berat. Berikut adalah beberapa khasiat dari tanaman ini :
- Mempercepat pemulihan kesehatan setelah operasi, melahirkan, khitan, segala luka-luka dalam, radang usus.
- Melancarkan dan menormalkan peredaran dan tekanan darah.
- Mencegah stroke.
- Mencegah Tumor dan Kanker
- Mencegah Rheumatik, flu tulang dan sakit Persendian.
- Menambah dan mengembalikan vitalitas daya tahan tubuh.
- Wasir (ambeien)
- Melancarkan buang air kecil, buang air besar.
2. Akar Lawang
Minyak
dari akar lawang sangat bermanfaat bagi penyakit gatal-gatal dan masuk angin.
3. Kayu manurung
Kayu manurung sangat berkhasiat untuk membunuh kuman
yang terdapat dikulit seperti panu atau kudis.
4. Baru datang
Tumbuhan ini berkhasiat sebagai pencahar, bagi yang
kesulitan untu buang air besar, tumbuhan obat baru datang adalah alternatif
yang tepat untuk mengatasinya. Kemudian ada
5. Mantalalu
Khasiat dari tumbuhan obat ini
sama seperti akar lawang yaitu untuk mengobati masuk angin.
V.
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil praktikum mengenai Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) yang telah dilaksanakan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1.
Beberapa hasil hutan non kayu yang terdapat di Desa Bobo adalah lebah
madu, tanaman anggrek, tumbuhan obat.
2.
Masyarakat sekitar hutan, khususnya di Desa Bobo memanfaatkan hasil hutan
non-kayu tersebut dalam nilai ekonomi.
3.
Dalam menghasilkan madu, para peternak lebah madu cukup membutuhkan waktu
1 minggu untuk mendapatkan 2 botol madu.
4.
Pemanfaatan hasil hutan non-kayu di Desa Bobo memberikan kualitas dan
penggunaan yang sangat baik.
5.2
Saran
Agar praktikan lebih memahami tentang hasil-hasil hutan non kayu yang
seperti telah dipraktikkan, sebaiknya waktu yang digunakan untuk melakukan praktikum lebih
diperpanjang, dan
tidak dilakukan secara serentak. Karena hal ini, membuat praktikum merasa
bingung dan tidak efektif dalam melakukan wawancara terhadap narasumber.
Sehingga hasil dan data yang diperoleh kurang lengkap dan akurat.
DAFTAR
PUSTAKA
Asib, Catur. 2006. Jurnal: Inventarisasi Tanaman Pakan Lebah Madu Apiscerana Ferb Di Perkebunan
Teh Gunung Mas Bogor. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Cifor. 2013. Laman Web : http://www.cifor.org/publications/Html/AR-98/Bahasa/Non-Timber.html
Diakses pada tanggal 04 Desember 2013
Hamzari. 2007. Jurnal: Identifikasi Tanaman Obat-obatan Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat
Sekitar Hutan Tabo-tabo. Universitas Tadulako. Palu.
Kasmudjo. 2011. Hasil
Hutan Non Kayu Suatu Pengantar. Cakrawala Media. Yogyakarta.
Isra Ibrahim, Fitriyani, dkk. 2013. Laporan Praktikum Hasil Hutan Non Kayu. Fakultas Kehutanan. Universitas
Tadulako. Palu
Pengamanan Hutan. 2012. Mengenal Jenis dan Peran Hasil Hutan. Laman Web : http://pengamananhutan.blogspot.com/2012/05/mengenal-jenis-dan-peran-hasil-hutan.html
Diaskes pada tanggal 04 Desember 2013
Raja Lebah. 2009. Lebah
Madu Apis cerana. Laman Web : http://rajalebahmadu.blogspot.com/2009/01/lebah-madu-apis-cerana.html
Diaskes pada tanggal 04 Desember 2013
Satwa. 2013. Anggrek
dan Ciri-cirinya. Laman Web : http://www.satwa.net/469/bunga-anggrek-ciri-ciri-jenis-dan-klasifikasi-anggrek.html
Diakses pada tanggal 04 Desember 2013
Wikipedia. 2013. Hasil
Hutan Non-Kayu. Laman Web : http://id.wikipedia.org/wiki/Hasil_hutan_non-kayu
Diakses pada tanggal 04 Desember 2013
Wikipedia. 2013. Lebah
Madu. Laman Web : http://id.wikipedia.org/wiki/Lebah_madu
Diaskes pada tanggal 04
Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar