Selasa, 04 Desember 2012

Makalah Silvikultur-Tebang rumpang-

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Salah satu komponen penting dalam menjaga kestabilan ekosistem di bumi adalah hutan. Hutan merupakan hamparan vegetasi raksasa yang berperan sebagai paru-paru (Soemarwoto 1991) karena mengeluarkan Oksigen (O2), menyerap Karbondioksida (CO2) sekaligus menimbun karbon (C) dalam bentuk bahan organik (Carbon pool). Penelitian terkini juga menyebutkan bahwa hutan dapat berperan sebagai jantung bumi yang dapat memompa udara yang mengandung uap air dari lautan ke daratan. Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal. Menurut PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen. Didalam sistem silvikultur terdapat pengaturan mengenai kelas diameter atau kelas umur, riap, kegiatan penanaman/ pengayaan (enrichment planting), pemangkasan (pruning), penjarangan (thinning), siklus tebang, rotasi tebang serta informasi silvikultur jenis (Pasaribu 2008). Menurut Ditjen PH (1993) sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenani pengelolan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Sedangkan menurut Mattews (1992) dalam Mansur (2008) sistem silvikultur merupakan proses pemeliharaan, pemanenan dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda. Pada hutan alam produksi sistem silvikultur dimulai dari kegiatan pemanenan sedangkan pada hutan tanaman dimulai dari kegiatan pembibitan dan perawatan tanaman. Dengan demikian definisi sistem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya mengandung tiga komponen utama, yaitu permudaan (regeneration), pemeliharaan (tending) dan pemanenan (harvesting/removing) (Mansur 2008). Sistem silvikultur yang diterapkan dalam unit manajemen dapat dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan seumur (even-aged stands) seperti THPA dan THPB, sistem silvikultur untuk tegakan beberapa umur (uneven-aged stands) dan tegakan semua umur (all-aged stands) seperti tebang pilih individu (TPI, TPTI, Bina Pilih), kelompok melingkar (tebang rumpang) dan kelompok dalam jalur (TPTJ dan TPTII). Berdasarkan sistem penebangan pohon terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih (selective cutting) dan sistem tebang habis (clear cutting). Untuk dapat diketahui suatu metode pemanenan kayu cocok untuk diterapkan atau yang harus dilakukan klasifikasi kemiringan lahan dari deliniasi areal yang di lindungi. Adapun tujuan dari peta klasifikasi kemiringan lahan ini dimaksudkan untuk memilah – milah areal utan yang aman untuk dipanen dalam satuan – satuan yang telah kecil yang dicirikan oleh metode pemanenan dan sisitem silvikultur yang dianut dan dilaksanakan. Sementara untuk daerah – daerah yang rawan atau tidak aman dilakukan, pemanenan dijadikan sebagai areal induk. Kegiatan pemanenan kayu menyebabkan meningkatnya keterbukaan lahan. Besarnya keterbukaan lahan akibat kegiatan ini antara lain dipengaruhi oleh sistem pemanenan, intensitas pemanenan, perencanaan petak tebang, perencanaan penyaradan dan kemiringan lapangan. Sistem pemanenan yang dilakukan berpengaruh terhadap besarnya keterbukaan lahan dan gangguan yang berada pada tanah (Purwodido, 1999). Unit pengelolaan pemanenan kayu perlu dibagi dalam blok kerja tahunan sesuai dengan daur tebangan. Blok kemudian dibagi ke dalam petak pemanenan. Tipe tapak atau kondisi silvikultur yang ada di tiap petak di deliniasi dan di taksir luasnya masing – masing. Unit pengelolaan harus mempunyai unit administrasi berupa petak permanen. Hutan produksi dan kebun kayu yang tidak mempunyai petak permanen bisa dikelola. Sama halnya tidak mungkin mengelola penduduk di sebuah kelurahahn yang tidak mempunyai RT atau RW. Pemonitoran luas hutan dan keadaan tegakan, pengaturan tat tempat kegiatan dan sistem informasi tidak akan dapat dilakukan bila hutan tidak dilengkapi dengan petak permanen. Blok kerja tahunan dibagi dalam petak permenen dengan luas 100 – 1000 ha. Dengan menggunakan sungai, trase jalan. Jalan dan punggung lahan sebagai pembatas. Pembutan petak tat hutan permanen paling lambat dilakukan setelah trase jalan diketahui. Karena jalan akan digunakan sebagai batas petak dan petak harus di petakan dan tidak boleh hanya di sketsa (Sagala, 1994). 1.2 Rumusan Masalah a. Apa yang dimaksud dengan tebang rumpang? b. Bagaimana teknik pengelolaan tebang rumpang? c. Bagaimana sistem tebang rumpang? 1.3 Tujuan Penulisan Makalah ini dibuat dengan tujuan agar para pembaca mengetahui tentang pengertian tebang rumpang, mengetahui bagaimana teknik pengelolaan tebang rumpang, dan bagaimana sistem tebang rumpang, sehingga sebagai seorang rimbawan kita dapat mengaplikasikan sistem silvikultur tersebut dalam proses pengelolaan hutan. II. Pembahasan 2.1 Tebang Rumpang Rumpang adalah bentuk ruang terbuka hasil dari penebangan kelompok vegetasi berbentuk melingkar dengan ukuran 1 – 2 kali tinggi pohon tepinya. Pemanenan tebang rumpang adalah tebangan berdasarkan kelompok pohon di dalam bentuk rumpang. Perapihan rumpang adalah kegiatan membuat rumpang setelah penebangan pohon-pohon besar dengan menebang semua vegetasi di dalamnya kecuali permudaan. Hutan tidak homogen, berbeda dari tempat ke tempat. Misalnya pohon Meranti masak tebang (gsd> 50 cm) relatif banyak, berkelompok dibagian punggung, namun ada yang soliter. Pohon besar cukup banyak yang berlubang, diduga karena terlalu tua. Peremajaan tingkat tiang dan pancang sangat jarang karena mati di bawah naungan tajuk.namun semai berlimpah menngerombol di sekitar induknya. Semai itu dorman, tidak berkembang. Bila tajuk hutan terbuka dan terbentuk rumpang, maka sinar akan masuk ke lantai hutan dan semai dorman tadi bergerak tumbuh bagai meloncat. Oleh karena itu, meranti disebut jenis “gap ooportunist” atau jenis rumpang. Pohon lain berkualitas tinggi yang sering ada disisi meranti adalah ulin, keruing, nyatoh, anggih, dan simpur. Petak digunakan untuk memonitor luas lahan dan kondisi vegetasi. Pada tebang rumpang ini tidak diperlukan inventarisasi pohon sebelum dan sesudah penebangan, tidak dilakukan penanaman perkayaan, tidak penunjukan pohon inti, tidak ada penanaman tanah kosong dan tidak ada petak ukur permanenan (PUP). Biaya pembinaan areal tegakan tebangan tebang rumpang amat kecil. 2.2 Teknik Pengelolaan 2.2.1 Membuat unit tegakan rumpang a. Material tegakan Material tegakan adalah berbagai semai yang telah ada di lantai hutan. Karena jenis yang digunakan beragam, maka terbentuk sosok tegakan berlapis yaitu : berbagai komposisi jenis, berbagai struktur batang dan berbagai lapisan tajuk seperti hutan primer. Daur diperkirakan 70 tahun dan riap sekitar 10 m3. b. Desain jalan sarad Rumpang diletakkan sistematik pada jalan sarad. Pada satu jalan sarad terdapat dua umur rumpung berbeda umur 35 tahun. Di dalam satu unit jalan sarad terdapat sebanyak 30-60 rumpang total luas 5-15 ha. Rumpang ini mudah dilacak karena berada dijalan sarad. Jalan sarad ini bermuara di TPK, dan TPK berada di tepi jalan. Unit jalan sarad diberi nomor. c. Rumus pembuatan unit tegakan Tegakan dinilai jadi pada umur 15 tahun. Saat itu material tegakan sudah mencapai tingkat tiang. Rumus pembuatannya sebagai berikut : Tahun Nama Kegiatan Uraian Pekerjaan T-3 Pembuatan jalan Jalan dibuat menelusuri dan menyabuk bukit dengan intensitas 20-30 m/ha T-1 Pembuatan TPK Setahun sebelum pembalakan, TPK ditetapkan. TPK tentu sepanjang jalan logging , biasanya pada jarak ½ sampai 1 km dan luas 3000 m2. T-1 Penetapan jaringan jalan sarad Jaringan jalan sarad dibuat berbentuk tanduk rusa, tidak boleh simpangsiur dan tidak boleh bercabang banyak seperti percabangan pohon untuk memperkecil jumlah pohon cacat T-1 Plotting calon rumpang Calon rumpang diletakkan sistematik pada jalan sarad. Lebar calon rumpang 1,0-1,5 kali tinggi pohon tepi. Luas antara 100 – 2000 m2. Jarak calon rumpang minimal 100 m, sehingga rumpang dan tegakan tinggal, berselang. Luas rumpang sekitar 25% dari luas petak, sisanya adalah tegakan tinggal (25%) dan kantong pelestarian (50%). Pada satu unit jalan sarad terdapat 30-60 rumpang dengan total luas 5-10 ha. Pada 1 TPK terdapat 1-3 anak petak atau unit jalan sarad. T+0 Pembalakan Semua pohon dalam calon rumpang dipanen. Volume tebangan 50-100 m3 per rumpang atau 600 m3 / ha, pohon diameter < 20 cm. T+3 Pembebasan tajuk Dari permudaan yang berkembang didalam rumpang dipilih pohon calon pengisi lapisan kanopi atas (PCA) dan dibebaskan tajuknya dengan jarak 5-7 m. PCA diberi tanda cat. Pada tegakan utuh sama sekali tidak ada perlakuan. Pembebasan menggunakan metode tebasan. T+5,8,15 Pembebasan tajuk Pembebasan tajuk dengan meneres pohon yang menaungi atau menghimpit tajuk PCA dengan menggunakan cangkul pohon. Cara ini diulangi pada tahun ke 8 dan ke 15. Dengan menggunakan cangkul seseorang mengerjakan 5 rumpang per hari. Kegitan T+3 sampai T+15 ini disebut pembinaan rumpang tebangan. Tiap rumpang ada 6-10 PCA. d. Riap tegakan rumpang Pada umur 70 tahun, diameter kanopi atas diperkirakan mencapai 115 cm dengan volume 13 m3. Didalam 1 ha rumpang ada 30 bt dengan volume sekitar 400 m3. Volume ini masih ditambah dengan pohon bonus seperti ulin dari lapisan tengah dan bawah sebanyak 200 m3/ha. Dengan demikian perolehan kayu sekit5ar 600 m3/ha. Riap unit tegakan rumpang 10 m3/ha/th. Pohon ini adalah kayu kualitas tinggi yang diproduksi dengan tetap menjaga kelestarian hutan. e. Menimgkatkan mutu genetik pohon Mutu genetik pohon pengisi lapisan kanopi atas (PCA) ditingkatkan dengan memilih material terbaik setempat yang ada di rumpang. Material tegakan untuk rotasi berikutnya adalah anak pohon ini f. Meningkatkan riap unit tegakan Untuk memacu riap tegakan rumpang dilakukan dengan pembebasan tajuk pohon calon kanopi atas. 2.2.2 Membuat unit pengelolaan tertata penuh a. Pembuatan blok kerja tahunan Unit pengelolaan hutan produksi (HPH) dibagi kedalam 35 blok kerja tahunan seperti ditetapkan pada pedoman TPTI. Pada setiap blok kerja tahunan dicetak dua unit umur tegakan. Dengan demikian didalam unit pengelolaan hutan produksi tercetak 70 unit tegakan. b. Pembuatan petak permanen Blok kerja dibagi kedala petak permanen. Areal petak terbagi sebagai berikut : R1 = rumpang tebangan tahun ini R36 = tegakan tinggal, calon rumpang tebangan 35 tahun mendatang, luas 25 % dari luas petak. KP = kantong pelestarian, tidak boleh diganggu, luasnya 50% dari peta, terdiri atas bagian lereng, bahu sungai, lembah becek, dan tegakan yang dapat dibalak antara R1 dan R36 c. Melestarikan ekosistem hutan Dalam melestarikan ekosistem hutan, diterapkan perlakuan sebagai berikut. Pertama, meninggalkan kantong pelestarian seluas 50%. Kedua, menggunakan tebang rumpang, bukan tebang pilih jenis atau limit diameter. Ketiga, menggunakan rotasi panjang 70 tahun. Keempat, tidak melakukan penebasan tumbuhan bawah (refining) dan tanaman perkayaan. Kelima, menggunakan material tegakan setempat. Keenam, dua kuvio bertetangga berbeda umur sangat nyata 35 tahun. Ketujuh, hutan produksi berdempet dengan hutan konservasi, sehingga hutan konservasi tidak merupakan satu habitat pulau. d. melestarikan produksi kayu untuk melestarikan produksi kayu, di areal unit pelestarian dicetak 70 unit tegakan yang hampir sama luasnya dan setiap tahun ditebang satu unit. Dengan demikian, jatah tebangan tahunan berdasarkan areal. e. Melestarikan luas hutan untuk melestarikan luas hutan ditempuh dua hal. Pertama, membuat batas luas dan dikukuhkan. Kedua, tidak dikonversikan kebun kayu, tanaman perkebunan, dll. Ini tugas dinas kehutanan. f. Menyediakan lapangan kerja bagi penduduk setempat pekerjaan pembinaan rumpang diserahkan kepada penduduk setempat. Pekerjaan ini sangat tepat bagi pemegang parang tajam dan mereka yang sudah terbiasa bekerja ditempat panas serta sudah mengenal jenis pohon dihutan. Pekerjaan disatuak dengan kegiatan pengendalian perladangan dan pemukiman penduduk. g. Menyediakan kayu bagi penggergajian lokal hasil tebang rumpang berkisar antara 400-600 m3/ha rumpang. Sekitar 20-30 % dari kayu ini adalah batang berdiameter 20-40 cm yang bisa dijual kepada penggergajian lokal. Semua kayu hasil tebang rumpang dibawah ke tempat pelelangan. Ditempat pelelangan, pemilik penggeregajian lokal,industri pembakaran bata merah, industri arang, pengusaha kayu bakar, dan pengeregajian alat pertanian, bisa membeli kayu yang dikehendakinya. h. Produksi tahunan Misalnya ada areal HPH dengan luas 350.000 ha dengan luas areal berhutan 340.000 ha. Bagilah areal HPH kedalam 35 blok kerja tahunan dengan luas masing-masing (340.000/35 = 9.714 ha). Didalam tiap blok dicetak dua unit tegakan rumpang berbeda umur 35 th dengan luas masing-masing 2.428 ha. Sisanya seluas 4.857 ha (50%) tidak dibalak untung kantong pelestarian. Produk kayu tahunan yang berdiameter >20 cm mencapai 2.428 x 500 m3/ha = 1.200.000 m3/th (tegakan hutan primer). Jumlah rumpang akan dibuat 2.428/5 = 12.000 unit. Didalam satu unit jalan sarad terdapat rata-rata 50 rumpang. Jadi jumlah unit jalan sarad 12.000/50 = 240 unit. Didalam 1 km jalan logging terdapat rata-rata 3 unit jalan sarad, sebab ada TPK yang mempunyai 2-3 unit jalan sarad. Jadi, panjang jalan sarad yang akan dibangun pertahun 240/3 = 80 km atau intensitas jalan 30 m/ha. i. Awas tebang ulang Penebangan disuatu petak yang tenggang waktunya dengan penebangan pertama kurang dari 35 tahun disebut tebang ulang. Hutan akan nampak buruk kalau tidak lagi berisi pohon besar. Kalau hutan nampak buruk, cukuplah alasan orang untuk mengkonversikan hutan tersebut menjadi lahan HTI, proyek transmigrasi, perkebunan, dll. Hal yang sangat ditakutkan adalah karena menurut peraturan pohon lebih dari 50 cm boleh ditebang, dan dipetak tebangan masih ada pohon masak tebang, orang lalu masuk lagi melakukan tebang ulang. Akibat tebang ulang, hutan menjadi terlalu terbuka populasi jenis pionir, semak dan alang-alang melonjak, muatan bahan bakar sangat tinggi dan hutan terbakar habis dimusim kemarau panjang. 2.3 Sistem Tebang Rumpang 1. Aspek ekologis Pembagian areal kerja sesuai dengan daur yang ditentukan dengan mempertimbangkan luasan dan kawasan lindung. Penentuan kawasan lindung yang meliputi ; PUP, plasma nutfah, tegakan benih, sempadan sungai dan kawasan konservasi dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan kondisi serta karakteristik lingkungan, edafis maupun tegakan pada lokasi setempat. Adapun pembagian luasan dalam blok adalah 40 – 60 % merupakan kawasan produksi (terdiri dari 40-50 % tegakan rumpang dan 40 – 50 % tegakan utuh) dan 20 – 50 % kawasan lindung (terdiri dari 10-20 % daerah lembah/sungai dan rawang, 20-30 % daerah berlereng curam > 40 %). Dengan adanya kawasan lindung ini diharapkan kualitas hutan tetap terjaga dan dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Pembagian blok tebangan berdasarkan batas alam sehingga kondisi ekologi pada suatu blok diharapkan sama. Pembuatan trace jalan utama dan cabang direncanakan dengan seksama dan dengan memperhitungkan potensi yang ada. Trace jalan yang dibuat dapat berfungsi juga sebagai batas blok tebangan. Intensitas jalan diperhitungkan 20 – 30 m/ha dan lokasi TPn berada di sepanjang jalan logging dengan jarak 0,5 – 2 km serta pembuatan jalan sarad yang berbentuk tanduk rusa dengan jarak 10 – 700 m sehingga kerusakan pada lantai hutan yang dapat menyebabkan erosi atau pemadatan pada tanah akibat kegiatan pembukaan jalan dan TPn dapat dikurangi. Erosi yang hebat akan menyebabkan terlarutnya unsur hara pada tanah dan pemadatan tanah akan menyulitkan sistem perakaran pada semai sehingga pada akhirnya akan mengurangi produktifitas hutan. Pelaksanaan tebang rumpang dilakukan pada anak petak tebangan dengan diameter 1 – 1,5 tinggi pohon dengan jarak ploting rumpang + 100 m dan jumlah pohon yang ditebang 3 – 8 pohon dan atau seluruh pohon dengan diameter 20 cm up. Penebangan dengan sistem rumpang diharapkan akan memberi ruang tumbuh dan sinar matahari sehingga dapat memicu pertumbuhan semai dorman yang banyak terdapat pada lapisan bawah (stratum D). Secara alami rumpang akan terbentuk akibat pohon tua yang rebah. Adopsi rumpang menjadi suatu sistem penebangan diharapkan agar kondisi ekologi tidak berubah secara drastis pada seluruh areal penebangan dan ekosistem hutan tetap terjaga. Siklus pada lokasi rumpang adalah 70 tahun, sementara siklus pada tegakan utuh pada anak petak yang sama adalah 35 tahun. Siklus ini akan memberikan kesempatan tumbuh pada tegakan sisa sesuai dengan riapnya. 2. Aspek ekonomis Penebangan dengan sistem tebang rumpang dilaksanakan pada lokasi ploting rumpang yang telah ditentukan dalam kawasan produksi pada anak petak. Luas ploting rumpang adalah 40-50 % dari kawasan produksi sebesar 40- 60 % pada blok tebangan, sehingga luas total rumpang dalam blok tebangan adalah 16 – 30 % dari luas total blok tebangan. Meskipun penebangan dilakukan terhadap seluruh vegetasi dengan diameter 20 cm up pada lokasi rumpang yang telah ditentukan dengan diameter 1 – 1,5 tinggi pohon namun secara ekonomis masih terasa kurang menguntungkan. Sebagai ilustrasi, hutan dengan potensi sebesar 50 m3/ha, pada blok tebangan seluas 100 ha, maka total potensinya adalah 5000 m3, namun yang dapat dipanen hanya sebesar 800 – 1500 m3. 3. Aspek teknis Sistem tebang rumpang menuntut suatu perencanaan teknis yang cermat dengan mempertimbangkan berbagai aspek ekologi dan karakteristik hutan setempat. Dalam pelaksanaan teknis di lapangan, operator diharapkan mengikuti perencanaan yang telah ditentukan. Peralatan eksploitasi yang digunakan hendaknya yang ramah lingkungan. 4. Aspek sosial budaya Aspek sosial budaya pada sistem tebang rumpang tidak diakomodir. 2.3.1 Penerapan Sistem Tebang Rumpang dalam Pengelolaan Hutan Prinsip-prinsip tebang rumpang dalam sistem silvikultur menggunakan tegakan tidak seumur dimana teknik pemanenan pada tebang rumpang ini memiliki konsep secara teratur yang sistematis dalam suatu jaringan jalan sarad (yang menuju ke satu TPn). TPn ini merupakan unit menejemen terkecil dalam prinsip-prinsip tebang rumpang dan merupakan unit perlakuan silvikultur. Yang dimnana tebang rumpang ini mempertahankan keanekaragaman hayati hutan serta menciptakan ruang tumbuh optimal bagi permudaan. Peningkatan produktivitas hutan tegakan tak seumur melalui tebang dalam kelompok rumpang yang memiliki sifat keseimbangan ekologi dan ekonomi serta mudah dalam pengendalian pengawasannya. Tujuan tebang rumpang adalah meningkatkan produktivitas hutan alam tegakan tidak seumur melalui tebang rumpang dan memanfaatkan ruang tumbuh untuk meningkatkan riap dalam memperoleh pemanenan yang lestari. Hutan alam produksi bekas tebangan menjadi sasaran kegiatan tebang rumpang. Kegiatan tebang rumpang memiliki 7 (tujuh) tahapan kegiatan, yaitu : 1. Penataan areal kerja (PAK) 2. Pembukaan wilayah hutan (PWH) 3. Risalah rumpang 4. Pembuatan rumpang 5. Pembinaan rumpang 6. Pemanenan 7. Perlindungan dan pengamanan hutan 1. Penataan Areal Kerja (PAK) • Prinsip 1. Menata areal ke dalam blok dan petak kerja tahunan berdasarkan RKUPHHK. 2. Satu petak kerja di dalam TR adalah satu TPn dengan jaringan jalan sarad dan rumpang-rumpang yang didukungnya 3. Dilakukan tidak lebih dari 4 tahun sebelum pemanenan. 4. Dibentuk sebagai satu bagian hutan khusus untuk regime TR. • Perencanaan 1) Perencanaan dalam Peta a) Pedomani RKUPHHK yang telah disahkan. b) Membagi areal kerja ke dalam blok-blok kerja tahunan dan petak-petak kerja. c) Sesuaikan jumlah blok dan petak-petak kerja dengan siklus tebang yang ditetapkan. d) Sesuaikan bentuk dan luas blok dan petak kerja dengan kondisi lapangan. e) Gunakan angka romawi untuk menandai setiap blok kerja sesuai rencana tahun penebangan, sedangkan petak kerja diberi angka secara berurutan dari petak pertama sampai petak terakhir. f) Buat rencana tata batas blok dan petak kerja. g) Buat peta rencana PAK dengan skala minimal 1 : 10.000. • Pelaksanaan Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk PAK berdasarkan prinsip pada angka 1.1. di atas. 2. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) • Prinsip Efisien, efektif, tertib, dan ramah lingkungan. • Perencanaan a) Buat rencana lokasi base camp, TPK, TPn, pondok kerja, dan lain-lain. b) Buat rencana jaringan jalan sarad pada setiap TPn, rencana jalan utama dan jalan cabang. c) Plotting semua calon rumpang untuk tahun berjalan (Ro) dan calon rumpang untuk setengah umur daur berikutnya (Ro+½daur) pada jaringan jalan sarad. d) Siapkan daftar ukur yang diperlukan untuk mencatat hasil risalah. e) Buat peta rencana risalah skala 1 : 5.000. • Pelaksanaan Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk PWH berdasarkan prinsip pada angka 2.1. di atas. 3. Risalah Hutan • Prinsip 1. Risalah hutan dilakukan di dalam calon-calon rumpang tahun berjalan (Ro) pada setiap jaringan sarad. 2. Dilakukan sebelum penyusunan Usulan RKTUPHHK. • Perencanaan 1. Siapkan peta rencana TPn, jalan sarad dan plotting rumpang hasil kegiatan 2. Siapkan daftar ukur yang diperlukan untuk mencatat hasil risalah • Pelaksanaan di Lapangan Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk risalah hutan berdasarkan prinsip pada angka 3.1. di atas, dan sekaligus membuat peta jaringan jalan sarad dan sebaran rumpang pada setiap TPn dengan skala 1 : 1.000. 4. Pembuatan Rumpang • Prinsip 1. Pemanenan dengan tebang habis pada setiap rumpang 2. Memanen semua pohon kecuali anakan pohon-pohon primer 3. Efisien, efektif, tertib, dan ramah lingkungan. • Perencanaan 1. Penebangan dilakukan berdasarkan peta sebaran rumpang skala 1 : 1.000. 2. Penebangan dilaksanakan pada petak-petak kerja dalam blok RKT yang telah disahkan. • Pelaksanaan 1. Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja Pemanenan berdasarkan prinsip angka 4.1. di atas. 2. Alat-alat pemanenan mengikuti peraturan yang berlaku. 5. Pembinaan Rumpang • Prinsip 1. Memberikan ruang tumbuh optimal bagi individu-individu pohon terbaik 2. Menghilangkan individu pohon dan atau vegetasi lain yang menaungi pohon terbaik. • Perencanaan 1. Pilih dan tandai anakan-anakan pohon terbaik satu tahun setelah pembuatan rumpang, jarak antar anakan 3 – 4 m 2. Plotting setiap anakan terpilih di dalam setiap rumpang untuk pembinaan dalam periode 2 tahunan sampai permudaan bebas dari naungan. • Pelaksanaan Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja Pembinaan rumpang berdasarkan pedoman angka 5.1. di atas. 6. Pemanenan • Prinsip 1. TPn, jalan sarad dan rumpang sebagai satu kesatuan yang permanen. 2. Pemanenan dilakukan di setiap rumpang secara tebang habis pada daur tebang yang telah ditentukan dengan tidak membuat TPn dan jalan sarad baru. 3. Efisien, efektif, tertib dan ramah lingkungan • Perencanaan 1. Risalah rumpang yang akan ditebang berdasarkan peta kerja 2. Penebangan dilaksanakan pada petak kerja dalam blok RKT yang telah disahkan • Pelaksanaan Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk Pembinaan rumpang berdasarkan prinsip pada angka 6.1. di atas. 7. Perlindungan dan Pengamanan Hutan • Prinsip 1. Perlindungan dan pengamanan dari kebakaran, perambahan, dan pencurian hasil hutan. 2. Memberikan kepastian usaha dalam pengelolaan hutan produksi. • Perencanaan Menyusun rencana perlindungan dan pengamanan hutan secara periodik dalam 1 periode RKT. • Pelaksanaan Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja Perlindungan dan Pengamanan Hutan berdasarkan prinsip pada angka 7.1. di atas. Menurut Ditjen PH (1993) sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenani pengelolan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Sedangkan menurut Mattews (1992) dalam Mansur (2008) sistem silvikultur merupakan proses pemeliharaan, pemanenan dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda. Pada hutan alam produksi sistem silvikultur dimulai dari kegiatan pemanenan sedangkan pada hutan tanaman dimulai dari kegiatan pembibitan dan perawatan tanaman. Dengan demikian definisi sistem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya mengandung tiga komponen utama, yaitu permudaan (regeneration), pemeliharaan (tending) dan pemanenan (harvesting/removing) (Mansur 2008). Sistem silvikultur yang diterapkan dalam unit manajemen dapat dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan seumur (even-aged stands) seperti THPA dan THPB, sistem silvikultur untuk tegakan beberapa umur (uneven-aged stands) dan tegakan semua umur (all-aged stands) seperti tebang pilih individu (TPI, TPTI, Bina Pilih), kelompok melingkar (tebang rumpang) dan kelompok dalam jalur (TPTJ dan TPTII). Berdasarkan sistem penebangan pohon terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih (selective cutting) dan sistem tebang habis (clear cutting). Menurut Manan (1995) dalam Indrawan (2008), sistem silvukultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: a. Polycyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang lebih dari satu kali selama rotasi. Sistem TPI dan TPTI termasuk polycyclic system karena menggunakan dua kali siklus tebang (2x35 tahun) selama rotasi 70 tahun. b. Monocyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang hanya sekali selama rotasi, seperti sistem THPA dan THPB. Setelah berjalan lebih dari 20 tahun, banyak hutan alam produksi yang mengalami fragmentasi (Indrawan 2008). Lanskap hutan hujan tropis telah membentuk mosaik (Pasaribu 2008; Suhendang 2008) yang terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang, hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong. Pada kondisi seperti ini penerapan multi sistem silvikultur menjadi keniscayaan agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutannya. Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu unit manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. Suhendang (2008) menulis bahwa sistem silvikultur menurut Society of American Forester tahun 1998 adalah rangkaian perlakuan terencana terdiri dari kegiatan pemeliharaan, pemanenan dan pembangunan kembali tegakan. Skema penerapan sistem silvikultur ada dua macam yaitu sistem silvikultur tunggal (single silvicultural system) dan sistem silvikultur jamak (multiple silvicultural system). Teknik silvikultur adalah upaya mengintegrasikan atribut ekologi, ekonomi, sosial dan administrasi menjadi pendekatan yang bulat dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan akan datang tanpa mengurangi kemampuan fungsi hutan (Soekotjo 2009). Teknik silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: a. Teknik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, pertumbuhan dan rotasi serta kombinasi antara spesies (genetik), manipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu (integrated pest management). Teknik pengendalian ini diterapkan dalam TPTI Intensif. b. Teknik perlindungan tempat tumbuh (agar permukaan tanah selalu tertutup vegetasi sehingga stabil dan terjaga kesuburannya) dan pohon (dari hama, penyakit dan kerusakan mekanis) 15 c. Teknik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan. III. Penutup 3.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa terhadap Sistem tebang rumpang, ternyata sistem ini menitik beratkan pada aspek ekologi. Aspek ekonomi dan teknis kurang diperhatikan, sementara aspek sosial budaya masyarakat tidak diperhatikan. Dengan demikian pada pembinaan rumpang tebangan perlakuan silvikultural yang diberikan sangat minimal bahkan mendekati doing nothing, sebab kondisi klimaks mikro rumpang, jenis materil tegakan yang ada didalam rumpang dan kondisi tapak lantai tegakan dinilai sudah optimal sehingga tidak pelu diberikan lagi perlakuan silvikultur, apalagi yang bersifat spekulatif. Metode pengelolaan hutan temperatur yang ekosistemnya sederhana tidak boleh digunakan dihutan tropika basah yang ekosistemnya rumit. 3.2 Saran Setelah melakukan pembahasan maka kami sebagai penyusun ingin memberikan beberapa saran yang sekiranya dapat dijadikan masukan diantaranya sebagai berikut : Kami mengharapkan apa yang menjadi makalah dengan tema ‘Tebang Rumpang‘ tidak hanya menjadi suatu teori saja, namun dapat di praktekkan didalam kehidupan bermasyarakat sebagai suatu pemahaman guna mengelola dan melestarikan hutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar