Hasan Al-Banna :
Sang Dai di Kedai-kedai Kopi
Berikut ini adalah petikan dari memoir (catatan harian) sang
ulama kharismatik dari Mesir tersebut.
Tibalah saatnya untuk
praktik, setelah sekian lama menggeluti dunia keilmuan. Saya menawarkan kepada teman-teman
agar keluar untuk menyampaikan khotbah di kedai-kedai kopi. Teman-teman merasa
heran seraya berkomentar : “Para pemilik kedai kopi tentu tidak akan
mengizinkan hal ini. Mereka pasti akan menolaknya, karena dapat mengganggu
pekerjaan mereka. Di samping itu, kebanyakan dari para pengunjung kedai kopi
adalah orang-orang yang hanya memikirkan apa yang sedang mereka nikmati.
Bagaimana kita mesti berbicara tentang agama dan kahlak di hadapan orang-orang
yang hanya memikirkan kesenangan duniawi seperti yang sedang mereka nikmati
itu?”
Bagaimana Hasan Al-Banna menghadapi sikap skeptic
(ragu-ragu) dari teman-temannya? Apakah akhirnya ia mundur ?
Saya berbeda pendapat
dengan teman-teman ini. Saya meyakini bahwa kebanyakan dari orang yang berada
di kedai kopi, siap mendengarkan nasihat dari pihak lain, termasuk dari
kalangan aktivis masjid, sebab kegiatan ini merupakan sesuatu yang unik,
langka, dan baru bagi mereka. Kita tidak perlu menyampaikan sesuatu yang dapat
melukai perasaan mereka. Kita harus menyampaikannya dengan metode yang tepat,
dengan gaya bahasa yang menarik dan dalam waktu yang singkat.
Akhirnya, segala sesuatu harus dibuktikan dengan amal.
Hasan Al-Banna dan teman-temannya mengunjungi beberapa kedai
yang terletak di kompleks Shalahuddin, kemudian di kedai-kedai kopi yang
tersebar di wilayah Thulun hingga melalui berbukit sampai di jalan Salamah dan
jalan Sayidah Zainab. Hasan Al-Banna memperkirakan ia dapat menyampaikan
ceramahnya lebih 20 kali, setiap ceramah menghabiskan waktu antara 5 hingga 10
menit.
Wah betapa indah, mental kompetitif beliau.
Ternyata para pendengar sangat takjub, mereka semua terdiam
mendengarkan ceramah dengan saksama. Para pemilik kedai yang mulanya kurang
berkenan, setelah itu justru agar ceramah dilakukan lagi. Bahkan meminta saya
untuk tinggal barang sejenak dan minum-minum terlebih dahulu. Namun dengan
halus saya menolaknya. Saya meminta maaf kepada mereka karena tidak bisa
memenuhi kemauaannya dengan alas an sempitnya waktu. Kami memang telah berjanji
kepada diri sendiri untuk mengoptimalkan penggunaan waktu untuk Allah. Oleh
karenanya kami tidak ingin memanfaatkannya untuk hal yang lain, sikap kami ini
ternyata memberi pengaruh yang cukup besar bagi jiwa mereka. Tidak perlu heran
sebab Allah Swt. tidak pernah mengutus seorang rasul atau nabi, kecuali moto
pertamanya adalah, “Katakanlah saya tidak akan meminta upah dari kalian atas
dakwah ini.” Kesucian niat inilah yang memberikan pengaruh yang positif dalam
jiwa objek dakwah.
Tantangan, keraguan bahkan intimidasi, selalu ada di jalan
menuju kemenangan, sebab itu adalah sifat dari kemenangan itu sendiri. Maka
tengoklah sosok Hasan Al-Banna yang memberi inspirasi kepada para mujahid
dakwah agar menanamkan mental kompetitif dalam pribadinya, selalu selamanya.
*Sumber : Memoar Hasan Al-Banna, hlm. 84
frt*Ditulis dari buku
The Winner or The Looser, Izzatul Jannah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar