Minggu, 11 Mei 2014

Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri



Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri
1.        Kelayakan (Feasibility)
1.1     Sumber daya yang tersedia
-       Status ekonomi
Penanaman pohon-pohon ditentukan oleh faktor tingkat kekayaan dan status lahan. Jumlah rumah tangga miskin (menguasai lahan sempit) yang menanam pohon-pohon lebih sedikit daripada rumah tangga kaya, demikian pula jumlah pohon yang ditanam oleh rumah tangga miskin lebih sedikit daripada jumlah pohon rumah tangga kaya (menguasai lahan luas).
-       Luas lahan
Pemilikan lahan yang sempit cenderung mengurangi minat budidaya pohon-pohon (Acacia mearnsii) di pedesaan Banjarnegara, Wonosobo, dan Gunung Kidul. Peningkatan kepadatan penduduk berarti peningkatan ketersediaan tenaga kerja per unit lahan, sehingga petani lebih memilih tanaman-tanaman yang lebih intensif.
-       Kualitas lahan
Berdasarkan penelitiannya pada masyarakat petani di Peru – Amazon, Loker (1993) menunjukkan bahwa dalam kondisi alam yang sulit (lahan tidak subur atau miskin) petani Peru telah mengembangkan sistem pertanian campuran yang mencakup budidaya tanaman setahun (a.l. padi, jagung, ubi kayu), budidaya tanaman tahunan (a.l. sitrus, mangga), dan pemeliharaan ternak sapi. Lahan yang tersedia sangat luas, sedangkan ketersediaan tenaga kerja terbatas. Pemeliharaan ternak sapi, meskipun dipandang telah menyebabkan kerusakan lingkungan (degradasi lahan), merupakan strategi hidup yang penting dan memberikan keuntungan ganda bagi peternak.
-       Tenaga kerja dan alokasinya
Pengaruh faktor ketersediaan tenaga kerja terhadap pilihan budidaya pohon-pohon ditunjukkan oleh kasus di pedesaan Jawa (Berenschot et al., 1988; Van Der Poel dan Van Dijk, 1987) dan Afrika bagian Timur (Warner, 1995). Rumah tangga yang kekurangan tenaga kerja pada musim-musim tertentu karena kegiatan migrasi cenderung membudidayakan pohon-pohon karena budidaya pohon-pohon membutuhkan masukan tenaga kerja yang rendah dan memberikan pendapatan yang relatif tinggi.